Rabu, 18 April 2012

Minat masyarakat perkotaan untuk mengkaji dan mengamalkan ajaran sufi makin marak




DALAM dasawarsa terakhir ini, komunitas sufi mewarnai kehidupan perkotaan. Tak sedikit dari kalangan eksekutif dan selebriti menjadi peserta kursus atau terlibat dalam suatu komunitas tarekat tertentu. Alasan mereka mencebur ke sana memang beraneka ragam. Misalnya, mengejar ketenangan batin atau demi menyelaraskan kehidupan yang gamang.

Gerakan bersufi-ria itu terekam dari kegiatan diskusi serta seminar yang bertemakan tasawuf. Jumat malam dua pekan lalu, misalnya, kala “membedah” pemikiran Jalaluddin Rumi di Hotel Regent Jakarta, pesertanya membludak. Anand Krishna, Dr. Mulyadhi Kartanegara, dan Prof. Nurcholish Madjid hadir sebagai pembicara. Panitia yang menyediakan tempat duduk 250-an tak mampu menampung pengunjung yang sekitar 400 orang. Mereka pun rela duduk di lantai atau berdiri berimpitan.
Situasi serupa terjadi pada 25 Februari lalu, kala Annemarie Schimmel berbicara tentang sufisme di Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Guru besar kultur indo-Islam dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, itu seolah menyihir ratusan peserta diskusi untuk tak beranjak dari tempat duduknya hingga acara usai.
Bukan hanya kursus, diskusi, atau seminar yang diminati banyak peserta. Buku-buku terbitan Mizan (Bandung), Pustaka Progressife (Surabaya), serta Paramadina dan Gramedia -keduanya di Jakarta- yang berkaitan dengan tasawuf selalu laris manis. Pembaca seakan tetap diburu kehausan, kendati sudah dijejali berbagai bacaan tasawuf.
Tak mengherankan jika Sufi -majalah bulanan yang terbit sejak Mei lalu- dalam waktu singkat bisa bertiras 20.000 eksemplar. “Dari nomor ke nomor, tirasnya terus bertambah,” kata Mohammad Luqman Hakiem, Kepala Editor Sufi, kepada Gatra. “Para pelanggannya justru banyak dari mereka yang berkantor di Jalan Sudirman, Thamrin, dan Rasuna Said,” Amal Alghozali, Pemimpin Perusahaan Sufi, menimpali.
Itu pula sebabnya, gejala “sufisme kota” di Indonesia menarik diteliti. Dua perguruan tinggi Indonesia dan Australia pun bekerja sama untuk mengadakan penelitian. Selama dua hari, 8-9 September lalu, berlangsung research workshop antara IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Universitas Griffith Brisbane, Australia.
Acara yang berlangsung di lantai III Gedung Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, IAIN Jakarta, ini menghadirkan sejumlah pakar tasawuf (Jalaluddin Rakhmat, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noor, Moeslim Abdurrahman, dan Julia D. Howell). Mereka berdiskusi dan merancang desain penelitian tentang peta model-model sufisme perkotaan di Indonesia.
Secara antropologis, sufisme kota dikenal sebagai trend baru di Indonesia sepanjang dua dekade ini. Sebelumnya, sufisme lebih dikenal sebagai gejala beragama di pedesaan. Sufisme kota, kata Moeslim Abdurrahman, bisa terjadi minimal karena dua hal.
Pertama, hijrahnya para pengamal tasawuf dari desa ke kota, lalu membentuk jamaah atau kursus tasawuf. Kedua, sejumlah orang kota “bermasalah” tengah mencari ketenangan ke pusat-pusat tasawuf di desa. Adapun sufisme secara sederhana didefinisikan sebagai gejala minat masyarakat pada tasawuf. Sufisme adalah istilah yang populer dalam literatur Barat (sufism), sedangkan dalam literatur Arab dan Indonesia hingga 1980-an adalah “tasawuf”.
Direktur Tazkiya Sejati, Jalaluddin Rakhmat, berpendapat bahwa sufisme diminati masyarakat kota sebagai alternatif terhadap bentuk-bentuk keagamaan yang kaku. “Sufisme juga menjadi jalan untuk pembebasan,” katanya.
Adalah Azyumardi Azra, Rektor IAIN Jakarta, yang memetakan dua model utama sufisme masyarakat kota dewasa ini. Pertama, sufisme kontemporer -biasanya berciri longgar dan terbuka (siapa pun bisa masuk)- yang aktivitasnya tidak menjiplak model sufi sebelumnya. Model ini dapat dilihat dalam kelompok-kelompok pengajian “eksekutif”, seperti Paramadina, Tazkiya Sejati, Grand Wijaya, dan IIMaN. Model ini pula yang berkembang di kampus-kampus perguruan tinggi umum.
Kedua, sufisme konvensional. Yaitu gaya sufisme yang pernah ada sebelumnya dan kini diminati kembali. Model ini ada yang berbentuk tarekat (Qadiriyah wa-Naqsabandiyah, Syatariyah, Syadziliyah, dan lain-lain), ada juga yang nontarekat (banyak dianut kalangan Muhammadiyah yang merujuk pada tasawuf Buya Hamka dan Syekh Khatib al-Minangkabawi).
Di kalangan elite di Jakarta, selain Paramadina, Tazkiya Sejati, dan IIMaN, juga ada kelompok pengajian Grand Wijaya yang berlokasi di daerah Melawai, Jakarta Selatan. Diasuh oleh Asep Usman Ismail, MA, dengan jumlah peserta mencapai 30 orang, dari kalangan menengah-atas. Pendidikan mereka minimal sarjana, bahkan ada beberapa yang lulusan S-2 atau S-3. Mereka bekerja di sektor pemerintah atau badan usaha milik negara. Banyak juga pensiunan. Ada mantan Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai, mantan pejabat eselon II di Departemen Keuangan, dan mantan pengacara. Ibu rumah tangga juga tak sedikit.
Sementara itu, di Jalan Gaharu I Nomor 9, Cipete, Jakarta Selatan, tak kurang dari 100 jamaah berpakaian putih (dilarang berpakaian merah) setiap malam memadati rumah berlantai dua milik Haji Bambang Widiarsono, 53 tahun. Mereka adalah jamaah Majlis Tasbih, kelompok tasawuf yang tiap malam melakukan zikir dan doa sehabis salat magrib dan isya. Khusus untuk malam Jumat, jamaahnya mencapai 300 orang. Selain berzikir, mereka juga melakukan salat tasbih dua rakaat.
Jamaah yang menjadi anggota majlis ini adalah mereka yang pernah berkonsultasi untuk penyembuhan penyakit yang dideritanya. Mereka mendapat terapi penyembuhan melalui zikir sehabis salat isya. “Lamanya zikir tergantung tingkat masalah dihadapi pasien,” ujar Bambang. “Kalau yang ringan, cukup mengikuti zikir selama seminggu, sedangkan yang berat bisa sampai 40 hari,” ujarnya. Selagi berdoa dan berzikir, mereka dibimbing seorang imam.
Di kalangan mahasiswa, antara lain, ada Forum Kajian Tazkiyatun Nafs Universitas Indonesia (FKTN-UI). Ini forum pengajian terstruktur Islam dengan pendekatan tasawuf. Tujuannya, memberi pemahaman pengetahuan bertobat, pengetahuan membersihkan hati dan jiwa, serta pengetahuan tentang jalan menuju Allah. Setelah mengikuti kajian, peserta diharapkan menjadi lebih sadar tentang dirinya dan tugasnya di dunia.
“Forum ini tidak mengikat dan tidak mengarahkan peserta ke dalam jamaah apa pun serta ordo tarekat mana pun,” kata Herry Mardianto, 26 tahun, salah seorang pendiri FKTN-UI. Setelah materi pengajian selesai, peserta dibebaskan berpencar mencari jalan masing-masing, dengan harapan menjadi lebih tergugah untuk memperbaiki diri dan memulai hidupnya dengan lebih Islami secara menyeluruh.
Di Bandung, ada Paramartha International Centre for Tashawwuf Studies (PICTS), yang bermarkas di Jalan Dago Pojok 37E/161B. PICTS adalah satu divisi di bawah Yayasan Islam Paramartha, yang khusus bergerak dalam kajian tasawuf. Khazanah tasawuf bertebaran di berbagai pelosok dunia Islam bak mutiara terpendam. Kekayaan ini menunggu diangkat, ditelaah, dan diintegrasikan satu sama lain agar membentuk kalung mutiara, yang bisa dinikmati dan didudukkan dalam konteks Islam yang semestinya. Itulah obsesi PICTS.
Maka, PICTS mencoba mengangkat khazanah tasawuf Indonesia ke tataran internasional. Khazanah Bhagdadi (Timur Tengah), yang selama ini mendominasi kajian tasawuf, dirasa makin lengkap bila ditautkan padanya berbagai mutiara lain yang selama ini “terpinggirkan”, seperti halnya khazanah tasawuf di Tanah Air.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, ada Forum Kajian Tasawuf Makassar dengan nama kajian “Serambi Suluk”. Menurut Imam Suhadi, mentor forum kajian itu, umumnya peserta yang memasuki forum kajian ini merasakan bahwa ajaran agama yang mereka peroleh terasa kering. “Mereka merasa kering dengan ritualitas-ritualitas keagamaan yang mereka tak mengerti visi dan tahapannya,” kata Imam kepada Zaenal Dalle dari Gatra. Jumlah anggotanya sekitar 30 orang.
Karena itu, kajian Serambi Suluk mempunyai beberapa tujuan, antara lain membuka wawasan dalam memandang ad-dien Islam dalam perspektif tasawuf, dan menuntun para pencari jalan menuju Allah Ta’ala. Sesuai dengan namanya, Serambi Suluk, menurut Imam, bermakna persiapan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala.
Ada beberapa aktivitas yang dilakukan Forum Kajian Tasawuf Makassar, antara lain melakukan kajian darat Serambi Suluk setiap Sabtu dan Minggu, diskusi virtual melalui mailing list suluk@egroups.com, memublikasikan kajian-kajian melalui internet dengan alamat http://suluk.paramartha.org. Forum kajian ini, pekan lalu, meluncurkan jurnal dwimingguan, Risalah Taubat.
Bila ditilik dari jumlah pengikutnya, tarekat terbesar di Indonesia adalah Qadiriyah wa-Naqsabandiyah(TQN). Tarekat inilah yang akhir-akhir ini kian menarik perhatian masyarakat Jakarta. Saat ini, lokasi pembacaan manakib (biografi Abdul Qadir Jailani) dan khataman TQN tak kurang dari 110 tempat di Jakarta.
Dalam semalam, minimal ada tiga tempat untuk manakiban dan khataman. Mereka dibimbing sekitar 30 mubalig. Sesepuh TQN se-Jakarta dan sekitarnya adalah KH Abdul Rosyid Effendy, 61 tahun. Jumlah jamaah TQN se-Jakarta sekitar satu juta orang. Se-Indonesia sekitar tiga juta orang. Dalam tiap malam, manakiban di Jakarta, kata Rosyid, kini diikuti 20-30 orang baru.
Pengikut TQN tidak hanya kelas atas, melainkan dari semua lapisan, termasuk kelas bawah. Menurut Ketua Wilayah TQN Jakarta Utara, Maksum Saputra, ikhwan-ikhwan (anggota) TQN di wilayahnya banyak dari kalangan nelayan dan penjual ikan. Di Ciputat, Jakarta Selatan, antara lain diikuti pengusaha kerupuk dan kondektur bus. Di samping itu, banyak juga mantan menteri, artis, pengusaha, dan pejabat tinggi negara yang bersedia dibaiat menjadi jamaah TQN.
Menurut Rosyid, yang sejak 1994 diangkat sebagai Wakil Talqin (Khalifatul Mursyid) Abah Anom -yang bermukim di Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat- di Jakarta ini, masuk TQN tidak sulit. Cukup mengikuti acara manakiban, lalu diberi pengarahan sekitar setengah jam, ditalkin zikir sekitar lima menit, dan dibaiat. Baiat berisi janji setia pada Tuhan untuk menjalani amalan dalam TQN. Amalan itu intinya berisi zikir dzahir (bersuara) dan khafi (tak bersuara).
Di Jawa Timur, juga banyak aliran tarekat yang diserbu pengikut. Termasuk tarekat langka yang lama tenggelam. Di Dukuh Selamet, Desa Wringin Anom, Kecamatan Tumpang, Malang, ada tarekat Akmaliyah. Tarekat ini melanjutkan ajaran Syekh Siti Jenar, yang dipopulerkan Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir, Raja Pajang).
Tarekat Akmaliyah menganut paham teologi pembebasan. Bahwa setiap manusia berhak bertemu Tuhannya. Tarekat ini tak mengangkat mursyid sebagaimana aliran lainnya. Hanya ada semacam koordinator, dalam hal ini Kiai Ahmad, seorang petani biasa di Desa Wringin Anom itu. Lelakunya ringan, jumlah zikirnya tak dibatasi bilangan, disesuaikan dengan kemampuan, dan waktunya bebas.
Alumninya berjumlah ratusan. Antara lain Drs. Agus Sunyoto, MPd, 41 tahun. Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang ini bergabung dengan tarekat Akmaliyah setahun lalu. Tarikat ini tak mengenal pemondokan dan pembaiatan. Setelah berdiskusi dengan Kiai Amad untuk meluruskan persepsi, jamaah bisa wiridan sendiri di rumahnya. “Tarekat ini cocok untuk orang sibuk,” ujar Agus. Menurut dia, tarekat Akmaliyah mampu menghubungkan manusia kepada roh Allah. “Akibatnya, hidup jadi lebih ringan,” katanya.
Asep Usman Ismail, kandidat doktor bidang tasawuf dari IAIN Jakarta, menilai bahwa tasawuf model tarekat lebih diterima kalangan menengah ke bawah. “Sementara kalangan menengah ke atas cenderung memilih tasawuf nontarekat,” tuturnya.
“Tasawuf yang diminati masyarakat kota jelas bukan model tarekat,” kata Asep. Mereka tidak berorientasi pada tasawuf klasik, seperti model tarekat dengan segala riyadhah-nya (pelatihan). “Itu tidak diminati, kecuali tarekat yang bisa menyesuaikan dengan suasana perkotaan,” ia menambahkan.
Bentuknya tentu yang singkat, esensial, dan instan. Dunia tasawuf bagi masyarakat kota, masih kata Asep, semacam obat gigi. “Saya resah, saya menemukan problem, saya stres, maka saya belajar tasawuf agar memperoleh ketenangan,” ujar Asep, menirukan keluhan para pengikut tarekat di kalangan perkotaan itu.
Asep juga menilai, dari lima komponen tarekat: mursyid, murid, wirid, tata tertib, dan tempat, yang paling berat bagi masyarakat kota adalah wirid dan tata tertib. Adapun tata tertib yang paling tidak masuk dalam logika orang modern adalah baiat kesetiaannya kepada guru. “Mereka ingin bebas tanpa baiat, dan tak mau terjebak kultus,” kata Asep. Orang-orang kota juga tidak berminat pada zikir yang panjang-panjang, apalagi harus berpuasa.

1 komentar:

  1. tulisane kecil-kecil bikin kepala mumet karena mata harus mempelototi tulisan itu, jadi males bacanya...

    BalasHapus