Kamis, 19 April 2012

PUISI PUISI JALALUDDHIN RUMI


NYANYIAN SERULING BAMBU

Dengarkan nyanyi sangsai Seruling Bambu
Mendesah selalu, sejak direnggut
Dari rumpun rimbunnya dulu, alunan
Lagu pedih dan cinta membara.


“Rahasia nyanyianku, meski dekat,
Tak seorang pun bisa mendengar dan melihat
Oh, andai ada teman tahu isyarat
Mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku!


Ini nyala Cinta yang membakarku,
Ini anggur Cinta mengilhamiku.
Sudilah pahami betapa para pencinta terluka,
Dengar, dengarkanlah rintihan Seruling!”

CINTA DALAM KETIADAAN

Betapa tak ’kan sedih aku, bagai malam, tanpa hari-Nya serta keindahan wajah hari terang-Nya?
Rasa pahit-Nya terasa manis bagi jiwaku: semoga hatiku menjadi korban bagi Kekasih yang membuat pilu hatiku!
Aku sedih dan tersiksa karena Cinta demi kebahagiaan Rajaku yang tiada bandingnya.
Titk air mata demi Dia adalah mutiara, meski orang menyangka sekedar air mata.
Kukeluhkan jiwa dari jiwaku, namun sebenarnya aku tidak mengeluh: aku cuma berkisah.
Hatiku bilang teriksa oleh-Nya, dan kutertawakan seluruh dalihnya.
Perlakukanlah aku dengan benar, O Yang Maha Benar, O Engkaulah Mimbar Agung, dan akulah ambang pintu-Mu!
Di manakah sebenarnya ambang pintu dan mimbar itu? Di manakah sang Kekasih, di manakah “kita” dan “aku”?
O Engkau, Jiwa yang bebas dari “kita” dan “aku”, O Engkaulah hakekat ruh lelaki dan wanita.
Ketika lelaki dan wanita menjadi satu, Engkau-lah Yang Satu itu; ketika bagian-bagian musnah, Engkau-lah Kesatuan itu.
Engkau ciptakan ”aku” dan ”kita” supaya memainkan puji-pujian bersama diri-Mu,
Hingga seluruh ”aku” dan ”engkau” dapat menjadi satu jiwa serta akhirnya lebur dalam sang Kekasih
.

DUKACITA KEMATIAN

Pangeran umat manusia (Muhammad) sungguh mengatakan bahwa tak seorang pun yang meninggalkan dunia ini
Merasa sedih dan menyesal karena telah mati; sebaliknya, dia bahkan sangat menyesal karena telah kehilangan kesempatan,
Seraya berkata pada dirinya, ”Mengapa tak kujadikan kematian sebagai tujuanku – kematian sebagai gudang menyimpan segala keberuntungan dan kekayaan,
Dan mengapa, karena tampak ganda, aku tambatkan hidupku pada bayang-bayang yang mudah lenyap dalam sekejap?”
Dukacita kematian tiada hubungannya dengan ajal, karena mereka asyik dengan wujud keberadaan yang menggejala
Dan tak pernah memandang seluruh buih ini bergerak dan hidup karena Sang Lautan.
Bila Sang Lautan telah menepiskan buih ke pantai, pergilah ke kuburan dan lihatlah mereka!
Tanyakan kepada mereka, ”Di manakah arus gelombangmu kini?” dan dengarlah jawaban bisu mereka, ”Tanyakan kepada Sang Lautan, bukan kepada kami”.
Bagaimana buih dapat melayang tanpa ombak? Bagaimana debu terbang ke puncak tanpa angin?
Bila kaulihat debu, lihatlah pula Sang Angin; bila kau lihat buih, lihat pula Sang Samudra Tenaga Penciptan.
Mari, perhatikanlah, karena pernglihatan batinlah satu-satunya yang paling berguna dalam dirimu: selebihnya adalah keping-keping lemak dan daging, pakaian dan pembungkus (tulang dan nadi).
Leburkanlah seluruh tubuhmu ke dalam Penglihatan Batin: lihat, lihat, lihatlah!
Sekilas hanya sampai pada satu dua depa jalan; pandangan cermat akan alam duniawi dan spiritual menyampaikan kita pada Wajah Sang Raja.

JIWA SHALAT

Jalaluddin ditanya, ”Adakah jalan yang lebih dekat menuju Tuhan daripada Shalat?” ”Tidak,” dia menjawab; ”namun shalat itu bukan hanya bentuknya saja. Shalat itu ada permulaan dan ujungnya, sepertinya semua yang berbentuk dan bertubuh dan yang melibatkan ucapan dan suara; tapi jiwa itu bebas dan tak terbatas. Para Nabi telah memperlihatkan hakekat shalat yang sesungguhnya. ...Shalat adalah ketenggelaman dan ketidaksadaran jiwa, sehingga seluruh bentuk-bentuknya tinggal di permukaan. Shalat itu, bahkan Jibril, yang merupakan ruh Suci tak dapat ruang. Orang dapat bekerja, siapa yang shalat seperti ini dikecualikan dari kewajiban agama, karena dia kehilangan kesadaran. Tenggelam dalam Kesatuan Ilahi itu adalah jiwa shalat.”

CINTA WANITA

Jika secara lahir isterimu yang kauatur, maka secara batin engkaulah yang diatur isterimu yang kaudambakan itu
Inilah ciri khas Manusia: pada jenis binatang lain cinta kurang terdapat, dan itu menunjukkan rendahnya derajat mereka.
Nabi bersabda bahwa wanita mengungguli orang bijak, sedangkan laki-laki yang sesat mengunggulinya; karena pada mereka kebuasan bintang tetap melekat.
Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.
Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: dia bukan kekasih duniawi. Dia berdaya cipta: engkau boleh mengatakan dia bukan ciptaan.

”MASAKLAH SEMUANYA”

Karena engkau tak mampu mengemban Cahaya yang terbuka, minumlah kata-kata Hikmah, karena cahayanya terselubung.
Hingga akhirnya engkau mampu menerima Cahaya, dan melihat apa yang kini tersembunyi tanpa kerudung.
Serta melintasi langit laksana sebuah bintang; bukan, perjalanan mutlak, tanpa angkasa.
Demikianlah engkau menjadi ada dari ketiadaan. Bagaimana engkau datang? Engkau datang secara tak sadar.
Jalan kedatanganmu tak engkau ingat, namun aku ingin memberimu sebuah tanda.
Biarkanlah pikiranmu pergi, kemudian waspadalah! Tutuplah telingamu, kemudian dengar!
Tidak, sebaiknya aku tak bercerita, karena engkau masih mentah; engkau masih dalam musim semimu, engkau tak dapat melihat musim panas.
Dunia ini laksana pohon: kita adalah laksana buah yang setengah matang melekat padanya.
Buah-buah yang masih mentah melekat erat pada cabang pohon, karena untuk Istana mereka belumlah pantas;
Namun ketika mereka ranum dan menjadi manis serta lezat – maka, mereka akan kehilangan cabang.
Sama seperti kerajaan duniawi yang akan kehilangan kelezatannya bagi mereka yang mulutnnya telah menjadi manis oleh kebahagiaan yang tiada terkira.
Ada yang tetap tak terkisah, namun Ruh Qudus akan menceritakan kepadamu tanpa aku sebagai perantara.
Bukan, engkau akan menceritakannya kepada telingamu sendiri – bukan aku ataupun orang lain, Wahai engkau yang bersatu denganku –
Seperti, ketika engkau tertidur, engkau pergi dari hadapan dirimu ke hadapan dirimu
Dan mendengar dari dirimu bahwa apa yang engkau pikirkan diceritakan secara rahasia kepadamu oleh seseorang dalam mimpi.
Wahai teman yang baik, engkau bukanlah ”engkau” semata: engkau adalah langit dan lautan yang dalam.
Kekuasaan ”Engkau”-mu yang maha luas adalah lautan yang di dalamnya ribuan ”engkau” tenggelam.
Janganlah berbicara, hingga engkau dapat mendengar dari Sang Pembicara apa yang tak dapat diucapkan atau dibayangkan.
Janganlah berbicara, sehingga Ruh mau bercakap padamu: dalam bahtera Nabi Nuh berhentilah berenang!

CINTA, SANG PENERANG

Perih Cinta inilah yang membuka tabir hasrat pencinta:
Tiada penyakit yang dapat menyamai dukacita hati ini.
Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat
Dan astrolabium rahasia-rahasia Ilahi.
Apakah dari jamur langit ataupun jamur bumi,
Cintalah yang membimbing kita ke Sana pada akhirnya.
Akal ’kan sia-sia bahkan menggelepar ’tuk menerangkan Cinta,
Bagai keledai dalam lumpur: Cinta adalah sang penerang Cinta itu sendiri.
Bukankah matahari yang menyatakan dirinya matahari?
Perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana.

KEBURUKAN DI DALAM DIRI KITA

Seekor Singa bergaul dengan seekor Kelinci: mereka berlari bersama ke perigi dan melihat ke dalamnya.
Sang Singa melihat bayangan diri: di permukaan air tampaklah muka seekor Singa dan seekor Kelinci yang gemuk di sampingnya.
Begitu ia melihat musuhnya maka ia segera meninggalkan kelinci dan meloncat ke dalam perigi.
Ia jatuh ke dalam lubang yang telah ia gali sendiri: ketidakadilannyalah yang menerkem kepalanya sendiri.
O Pembaca, betapa banyak keburukan yang engkau lihat pada orang lain itu tak lain adalah sifatmu sendiri yang terpantul pada diri mereka!
Semua yang nampak pada mereka adalah dirimu-kemunafikan, ketidakadilan, dan keangkuhanmu.
Engkau tak mampu melihat jelas keburukan dalam dirimu, kalau tidak begitu engkau akan membenci dirimu sendiri dengan seluruh jiwamu.
Seperti Singa yang menerkam bayangannya sendiri dalam air, engkau hanya menganiaya dirimu sendiri, O orang dungu.
Jika engkau telah mencapai dasar perigi sifat-sifatmu sendiri, maka engkau bakal mengetahui kejahatan pun ada di dalam dirimu.

Rabu, 18 April 2012

SIAPA SESUNGGUHNYA ORANG GILA ITU ?




SIAPA SESUNGGUHNYA ORANG GILA ITU ?
Selama ini dalam pandangan manusia secara umum, gila diartikan sebagai sebuah gangguan jiwa atau saraf yang parah. Menurut Wikipedia, secara historis konsep ini telah digunakan dalam berbagai cara. Dilingkungan dunia medis lebih sering digunakan istilah gangguan jiwa. Kata kegilaan sering pula digunakan untuk menyatakan tidak waras, atau perilaku yang sangat aneh. Dalam pengertian tersebut berarti ketidaknormalan dalam cara berpikir dan berperilaku yang kurang wajar. Gila yaitu hilangnya keseimbangan pikiran dikarenakan oleh stres atau ada masalah pribadi yang dialami oleh seseorang sehingga mengakibatkan pikirannya tidak terkendali dan akhirnya menjadikan pikirannya tidak waras, berperilaku aneh (tak wajar layaknya manusia biasa).

     Dalam buku Strategi Qur'ani, Abdul Ghafur (2004 : 29) menguraikan bahwa dalam bahasa Arab, orang gila disebut majnun yang dibentuk dari kata janna yang berarti menutupi atau tertutup. Karena itu makhluk halus yang tidak tampak ada yang disebut jin. Orang gila dalam pengertian asalnya bukanlah orang yang hilang akalnya, tetapi orang yang akalnya tidak mampu menerangi menerangi kegelapannya atau ketertutupannya dari cahaya illahi. Dengan demikian majnun adalah setiap orang yang cenderung menuruti hawa nafsunya, sehingga akalnya tertutup, tidak berfungsi.

     Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits bahwa :
"Pada suatu hari Rasulullah SAW melewati sekelompok sahabat yang sedang berkumpul. Rasul SAW bertanya : 'Ya Rasul, ini ada orang gila yang sedang mengamuk. Karena itu kami kumpul di sini. Rasul SAW bersabda : 'Orang ini tidak gila. Ia sedang mendapat musibah'. Rasul SAW malah bertanya lagi, 'Tahukah kalian siapakah orang gila yang benar-benar gila?'. Lalu Rasul SAW menjelaskan : 'kami tidak tahu'. Lalu Rasul menjelaskan : 'Orang gila adalah orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan yang merendahkan, yang membusungkan dada, berharap akan surga sambil berbuat maksiat kepada-Nya, yang kejelekannya membuat orang lain tidak aman dan kebaikkannya tidak pernah diharapkan."

       Penjelasan Nabi diatas sesuai dengan keterangan dalam Al-Quran, surat Al-Qalam ayat 8 -16 :
"Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang berlaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, ia berkata : '(ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala. 'kelak akan Kami beri tanda dia di belalai(nya)."

Dari ayat-ayat surat Al-Qalam tersebut dapat disebutkan bahwa ciri-ciri orang gila yang sebenarnya adalah : pembohong, berkompromi dengan hal yang tidak baik, suka sumpah bohong (palsu), suka mencela, penyebar fitnah, menghalangi orang berbuat baik, melampaui batas dalam berbuat, bersikap kasar, berbuat jahat, sombong dengan anak dan kekayaannya.

     Bertitik tolak dari kriteria orang yang sesungguhnya dianggap gila di atas, maka sangat relevan jika eksistensi perilaku gila pada kenyataannya bertebaran dan mudah dijumpai di negeri ini. Betapa tidak, banyak orang berkata 'ya' dalam mulut tapi sebenarnya 'tidak' dalam hatinya, alias pendusta atau bermuka dua; membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar; bermental pengecut, tidak jantan dan berani mengakui kesalahan, bahkan berusaha menghindar dari penyelidikan aparat hukum sehingga berusaha untuk kabur; tidak sedikit orang yang gila tahta sehingga melakukan korupsi, gila tahta sehingga berlaku zalim atau sewenang-wenang kepada orang lain, gila wanita sehingga berzina dianggap biasa; seks bebas, mabuk-mabukan, mengedarkan dan menghisap narkoba seakan-akan dianggap lumrah; menghina dan mencela orang lain dianggap menjadi 'tontonan' yang menghibur; praktik penipuan merajalela; kejahatan pencurian, perampokan, pemekosaan, kekerasan, pengrusakan dan pembunuhan hampir setiap hari terjadi; kata-kata kasar dan tidak sopan seperti sudah menjadi 'makanan' sehari-hari; orang sombong dengan kekuasaan dan harta yang melimpah sehingga merendahkan orang lain. Nau'uszubilaahi Min Dzalik.

     Marilah kita bekerja dengan keras untuk menjadi orang yang normal dan waras. Modal dasar ketakwaan kepada Allah, yang akan membawa kita memperoleh kemuliaan. Aamiin Allahumma Aamiin.

Penulis : Ilam Maolani

APA PENDAPAT ANDA


Apakah Mengenal Pasangan Harus Lewat Pacaran?
oleh: Ustadz muhammad abduh tuasikal ( www.remajaislam.com )
Sebagian orang menyangka bahwa jika seseorang ingin mengenal pasangannya mestilah lewat pacaran. Kami pun merasa aneh kenapa sampai dikatakan bahwa cara seperti ini adalah satu-satunya cara untuk mengenal pasangan. Saudaraku, jika kita telaah, bentuk pacaran pasti tidak lepas dari perkara-perkara berikut ini.
Pertama: Pacaran adalah jalan menuju zina
Yang namanya pacaran adalah jalan menuju zina dan itu nyata. Awalnya mungkin hanya melakukan pembicaraan lewat telepon, sms, atau chating. Namun lambat laut akan janjian kencan. Lalu lama kelamaan pun bisa terjerumus dalam hubungan yang melampaui batas layaknya suami istri. Begitu banyak anak-anak yang duduk di bangku sekolah yang mengalami semacam ini sebagaimana berbagai info yang mungkin pernah kita dengar di berbagai media. Maka benarlah, Allah Ta’ala mewanti-wanti kita agar jangan mendekati zina. Mendekati dengan berbagai jalan saja tidak dibolehkan, apalagi jika sampai berzina. Semoga kita bisa merenungkan ayat yang mulia,
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”(QS. Al Isro’: 32). Asy Syaukani rahimahullah menjelaskan, “Allah melarang mendekati zina. Oleh karenanya, sekedar mencium lawan jenis saja otomatis terlarang. Karena segala jalan menuju sesuatu yang haram, maka jalan tersebut juga menjadi haram. Itulah yang dimaksud dengan ayat ini.”[1] Selanjutnya, kami akan tunjukkan beberapa jalan menuju zina yang tidak mungkin lepas dari aktivitas pacaran.
Kedua:  Pacaran melanggar perintah Allah untuk menundukkan pandangan
Padahall Allah Ta’ala perintahkan dalam firman-Nya,
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.” (QS. An Nur: 30). Dalam ayat ini, Allah memerintahkan kepada para pria yang beriman untuk menundukkan pandangan dari hal-hal yang diharamkan yaitu wanita yang bukan mahrom. Namun jika ia tidak sengaja memandang wanita yang bukan mahrom, maka hendaklah ia segera memalingkan pandangannya. Dari Jarir bin Abdillah, beliau mengatakan,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ نَظَرِ الْفُجَاءَةِ فَأَمَرَنِى أَنْ أَصْرِفَ بَصَرِى.
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan yang cuma selintas (tidak sengaja). Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku agar aku segera memalingkan pandanganku.”[2]
Ketiga: Pacaran seringnya berdua-duaan (berkholwat)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلاَ لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ ، فَإِنَّ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ ، إِلاَّ مَحْرَمٍ
Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita yang tidak halal baginya karena sesungguhnya syaithan adalah orang ketiga di antara mereka berdua kecuali apabila bersama mahromnya.”[3] Berdua-duaan (kholwat) yang terlarang di sini tidak mesti dengan berdua-duan di kesepian di satu tempat, namun bisa pula bentuknya lewat pesan singkat (sms), lewat kata-kata mesra via chating dan lainnya. Seperti ini termasuk semi kholwat yang juga terlarang karena bisa pula sebagai jalan menuju sesuatu yang terlarang (yaitu zina).
Keempat: Dalam pacaran, tangan pun ikut berzina
Zina tangan adalah dengan menyentuh lawan jenis yang bukan mahrom sehingga ini menunjukkan haramnya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu , Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ
Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagian untuk berzina dan ini suatu yang pasti terjadi, tidak bisa tidak. Zina kedua mata adalah dengan melihat. Zina kedua telinga dengan mendengar. Zina lisan adalah dengan berbicara. Zina tangan adalah dengan meraba (menyentuh). Zina kaki adalah dengan melangkah. Zina hati adalah dengan menginginkan dan berangan-angan. Lalu kemaluanlah yang nanti akan membenarkan atau mengingkari yang demikian.”[4]
Inilah beberapa pelanggaran ketika dua pasangan memadu kasih lewat pacaran. Adakah bentuk pacaran yang selamat dari hal-hal di atas? Lantas dari sini, bagaimanakah mungkin pacaran dikatakan halal? Dan bagaimana mungkin dikatakan ada pacaran islami padahal pelanggaran-pelanggaran di atas pun ditemukan? Jika kita berani mengatakan ada pacaran Islami, maka seharusnya kita berani pula mengatakan ada zina islami, judi islami, arak islami, dan seterusnya.
Menikah, Solusi Terbaik untuk Memadu Kasih
Solusi terbaik bagi yang ingin memadu kasih adalah dengan menikah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallampernah bersabda,
« لَمْ نَرَ لِلْمُتَحَابَّيْنِ مِثْلَ النِّكَاحِ »
Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang saling mencintai semisal pernikahan.”[5]
Inilah jalan yang terbaik bagi orang yang mampu menikah. Namun ingat, syaratnya adalah mampu yaitu telah mampu menafkahi keluarga. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Wahai para pemuda[6]barangsiapa yang memiliki baa-ah, maka menikahlah. Karena itu lebih akan menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya.”[7] Yang dimaksud baa-ah dalam hadits ini boleh jadi jima’ yaitu mampu berhubungan badan. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud baa-ah adalah telah mampu memberi nafkah. Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullahhmengatakan bahwa kedua makna tadi kembali pada makna kemampuan memberi nafkah.[8] Itulah yang lebih tepat.
Inilah solusi terbaik untuk orang yang akan memadu kasih. Bukan malah lewat jalan yang haram dan salah. Ingatlah, bahwa kerinduan pada si dia yang diidam-idamkan adalah penyakit. Obatnya tentu saja bukanlah ditambah dengan penyakit lagi. Obatnya adalah dengan menikah jika mampu. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya obat bagi orang yang saling mencintai adalah dengan menyatunya dua insan tersebut dalam jenjang pernikahan.”[9]
Obat Bagi Yang Dimabuk Cinta
Berikut adalah beberapa obat bagi orang yang dimabuk cinta namun belum sanggup untuk menikah.
Pertama: Berusaha ikhlas dalam beribadah.
Jika seseorang benar-benar ikhlas menghadapkan diri pada Allah, maka Allah akan menolongnya dari penyakit rindu dengan cara yang tak pernah terbetik di hati sebelumnya. Cinta pada Allah dan nikmat dalam beribadah akan mengalahkan cinta-cinta lainnya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sungguh, jika hati telah merasakan manisnya ibadah kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya, niscaya ia tidak akan menjumpai hal-hal lain yang lebih manis, lebih indah, lebih nikmat dan lebih baik daripada Allah. Manusia tidak akan meninggalkan sesuatu yang dicintainya, melainkan setelah memperoleh kekasih lain yang lebih dicintainya. Atau karena adanya sesuatu yang ditakutinya. Cinta yang buruk akan bisa dihilangkan dengan cinta yang baik. Atau takut terhadap sesuatu yang membahayakannya.”[10]
Kedua: Banyak memohon pada Allah
Ketika seseorang berada dalam kesempitan dan dia bersungguh-sungguh dalam berdo’a, merasakan kebutuhannya pada Allah, niscaya Allah akan mengabulkan do’anya. Termasuk di antaranya apabila seseorang memohon pada Allah agar dilepaskan dari penyakit rindu dan kasmaran yang terasa mengoyak-ngoyak hatinya. Penyakit yang menyebabkan dirinya gundah gulana, sedih dan sengsara. Ingatlah, Allah Ta’ala berfirman,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Dan Rabbmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (QS. Al Mu’min: 60)
Ketiga: Rajin memenej pandangan
Pandangan yang berulang-ulang adalah pemantik terbesar yang menyalakan api hingga terbakarlah api dengan kerinduan. Orang yang memandang dengan sepintas saja jarang yang mendapatkan rasa kasmaran. Namun pandangan yang berulang-ulanglah yang merupakan biang kehancuran. Oleh karena itu, kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan agar hati ini tetap terjaga. Lihatlah surat An Nur ayat 30 yang telah kami sebutkan sebelumnya. Mujahid mengatakan, “Menundukkan pandangan dari berbagai hal yang diharamkan oleh Allah akan menumbuhkan rasa cinta pada Allah.”[11]
Keempat: Lebih giat menyibukkan diri
Dalam situasi kosong kegiatan biasanya seseorang lebih mudah untuk berangan memikirkan orang yang ia cintai. Dalam keadaan sibuk luar biasa berbagai pikiran tersebut mudah untuk lenyap begitu saja. Ibnul Qayyim pernah menyebutkan nasehat seorang sufi yang ditujukan pada Imam Asy Syafi’i. Ia berkata, “Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[12]
Kelima: Menjauhi musik dan film percintaan
Nyanyian dan film-film percintaan memiliki andil besar untuk mengobarkan kerinduan pada orang yang dicintai. Apalagi jika nyanyian tersebut dikemas dengan mengharu biru, mendayu-dayu tentu akan menggetarkan hati orang yang sedang ditimpa kerinduan. Akibatnya rasa rindu kepadanya semakin memuncak, berbagai angan-angan yang menyimpang pun terbetik dalam hati dan pikiran. Bila demikian, sudah layak jika nyanyian dan tontonan seperti ini dan secara umum ditinggalkan. Demi keselamatan dan kejernihan hati. Sehingga sempat diungkapkan oleh beberapa ulama nyanyian adalah mantera-mantera zina.
Ibnu Mas’ud mengatakan, “Nyanyian dapat menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana airdapat menumbuhkan sayuran.”  Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, “Nyanyian adalah mantera-mantera zina.” Adh Dhohak mengatakan, “Nyanyian itu akan merusak hati dan akan mendatangkan kemurkaan Allah.”[13]

Minat masyarakat perkotaan untuk mengkaji dan mengamalkan ajaran sufi makin marak




DALAM dasawarsa terakhir ini, komunitas sufi mewarnai kehidupan perkotaan. Tak sedikit dari kalangan eksekutif dan selebriti menjadi peserta kursus atau terlibat dalam suatu komunitas tarekat tertentu. Alasan mereka mencebur ke sana memang beraneka ragam. Misalnya, mengejar ketenangan batin atau demi menyelaraskan kehidupan yang gamang.

Gerakan bersufi-ria itu terekam dari kegiatan diskusi serta seminar yang bertemakan tasawuf. Jumat malam dua pekan lalu, misalnya, kala “membedah” pemikiran Jalaluddin Rumi di Hotel Regent Jakarta, pesertanya membludak. Anand Krishna, Dr. Mulyadhi Kartanegara, dan Prof. Nurcholish Madjid hadir sebagai pembicara. Panitia yang menyediakan tempat duduk 250-an tak mampu menampung pengunjung yang sekitar 400 orang. Mereka pun rela duduk di lantai atau berdiri berimpitan.
Situasi serupa terjadi pada 25 Februari lalu, kala Annemarie Schimmel berbicara tentang sufisme di Perpustakaan Nasional, Jalan Salemba, Jakarta Pusat. Guru besar kultur indo-Islam dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, itu seolah menyihir ratusan peserta diskusi untuk tak beranjak dari tempat duduknya hingga acara usai.
Bukan hanya kursus, diskusi, atau seminar yang diminati banyak peserta. Buku-buku terbitan Mizan (Bandung), Pustaka Progressife (Surabaya), serta Paramadina dan Gramedia -keduanya di Jakarta- yang berkaitan dengan tasawuf selalu laris manis. Pembaca seakan tetap diburu kehausan, kendati sudah dijejali berbagai bacaan tasawuf.
Tak mengherankan jika Sufi -majalah bulanan yang terbit sejak Mei lalu- dalam waktu singkat bisa bertiras 20.000 eksemplar. “Dari nomor ke nomor, tirasnya terus bertambah,” kata Mohammad Luqman Hakiem, Kepala Editor Sufi, kepada Gatra. “Para pelanggannya justru banyak dari mereka yang berkantor di Jalan Sudirman, Thamrin, dan Rasuna Said,” Amal Alghozali, Pemimpin Perusahaan Sufi, menimpali.
Itu pula sebabnya, gejala “sufisme kota” di Indonesia menarik diteliti. Dua perguruan tinggi Indonesia dan Australia pun bekerja sama untuk mengadakan penelitian. Selama dua hari, 8-9 September lalu, berlangsung research workshop antara IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Universitas Griffith Brisbane, Australia.
Acara yang berlangsung di lantai III Gedung Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, IAIN Jakarta, ini menghadirkan sejumlah pakar tasawuf (Jalaluddin Rakhmat, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Kautsar Azhari Noor, Moeslim Abdurrahman, dan Julia D. Howell). Mereka berdiskusi dan merancang desain penelitian tentang peta model-model sufisme perkotaan di Indonesia.
Secara antropologis, sufisme kota dikenal sebagai trend baru di Indonesia sepanjang dua dekade ini. Sebelumnya, sufisme lebih dikenal sebagai gejala beragama di pedesaan. Sufisme kota, kata Moeslim Abdurrahman, bisa terjadi minimal karena dua hal.
Pertama, hijrahnya para pengamal tasawuf dari desa ke kota, lalu membentuk jamaah atau kursus tasawuf. Kedua, sejumlah orang kota “bermasalah” tengah mencari ketenangan ke pusat-pusat tasawuf di desa. Adapun sufisme secara sederhana didefinisikan sebagai gejala minat masyarakat pada tasawuf. Sufisme adalah istilah yang populer dalam literatur Barat (sufism), sedangkan dalam literatur Arab dan Indonesia hingga 1980-an adalah “tasawuf”.
Direktur Tazkiya Sejati, Jalaluddin Rakhmat, berpendapat bahwa sufisme diminati masyarakat kota sebagai alternatif terhadap bentuk-bentuk keagamaan yang kaku. “Sufisme juga menjadi jalan untuk pembebasan,” katanya.
Adalah Azyumardi Azra, Rektor IAIN Jakarta, yang memetakan dua model utama sufisme masyarakat kota dewasa ini. Pertama, sufisme kontemporer -biasanya berciri longgar dan terbuka (siapa pun bisa masuk)- yang aktivitasnya tidak menjiplak model sufi sebelumnya. Model ini dapat dilihat dalam kelompok-kelompok pengajian “eksekutif”, seperti Paramadina, Tazkiya Sejati, Grand Wijaya, dan IIMaN. Model ini pula yang berkembang di kampus-kampus perguruan tinggi umum.
Kedua, sufisme konvensional. Yaitu gaya sufisme yang pernah ada sebelumnya dan kini diminati kembali. Model ini ada yang berbentuk tarekat (Qadiriyah wa-Naqsabandiyah, Syatariyah, Syadziliyah, dan lain-lain), ada juga yang nontarekat (banyak dianut kalangan Muhammadiyah yang merujuk pada tasawuf Buya Hamka dan Syekh Khatib al-Minangkabawi).
Di kalangan elite di Jakarta, selain Paramadina, Tazkiya Sejati, dan IIMaN, juga ada kelompok pengajian Grand Wijaya yang berlokasi di daerah Melawai, Jakarta Selatan. Diasuh oleh Asep Usman Ismail, MA, dengan jumlah peserta mencapai 30 orang, dari kalangan menengah-atas. Pendidikan mereka minimal sarjana, bahkan ada beberapa yang lulusan S-2 atau S-3. Mereka bekerja di sektor pemerintah atau badan usaha milik negara. Banyak juga pensiunan. Ada mantan Kepala Kantor Wilayah Bea Cukai, mantan pejabat eselon II di Departemen Keuangan, dan mantan pengacara. Ibu rumah tangga juga tak sedikit.
Sementara itu, di Jalan Gaharu I Nomor 9, Cipete, Jakarta Selatan, tak kurang dari 100 jamaah berpakaian putih (dilarang berpakaian merah) setiap malam memadati rumah berlantai dua milik Haji Bambang Widiarsono, 53 tahun. Mereka adalah jamaah Majlis Tasbih, kelompok tasawuf yang tiap malam melakukan zikir dan doa sehabis salat magrib dan isya. Khusus untuk malam Jumat, jamaahnya mencapai 300 orang. Selain berzikir, mereka juga melakukan salat tasbih dua rakaat.
Jamaah yang menjadi anggota majlis ini adalah mereka yang pernah berkonsultasi untuk penyembuhan penyakit yang dideritanya. Mereka mendapat terapi penyembuhan melalui zikir sehabis salat isya. “Lamanya zikir tergantung tingkat masalah dihadapi pasien,” ujar Bambang. “Kalau yang ringan, cukup mengikuti zikir selama seminggu, sedangkan yang berat bisa sampai 40 hari,” ujarnya. Selagi berdoa dan berzikir, mereka dibimbing seorang imam.
Di kalangan mahasiswa, antara lain, ada Forum Kajian Tazkiyatun Nafs Universitas Indonesia (FKTN-UI). Ini forum pengajian terstruktur Islam dengan pendekatan tasawuf. Tujuannya, memberi pemahaman pengetahuan bertobat, pengetahuan membersihkan hati dan jiwa, serta pengetahuan tentang jalan menuju Allah. Setelah mengikuti kajian, peserta diharapkan menjadi lebih sadar tentang dirinya dan tugasnya di dunia.
“Forum ini tidak mengikat dan tidak mengarahkan peserta ke dalam jamaah apa pun serta ordo tarekat mana pun,” kata Herry Mardianto, 26 tahun, salah seorang pendiri FKTN-UI. Setelah materi pengajian selesai, peserta dibebaskan berpencar mencari jalan masing-masing, dengan harapan menjadi lebih tergugah untuk memperbaiki diri dan memulai hidupnya dengan lebih Islami secara menyeluruh.
Di Bandung, ada Paramartha International Centre for Tashawwuf Studies (PICTS), yang bermarkas di Jalan Dago Pojok 37E/161B. PICTS adalah satu divisi di bawah Yayasan Islam Paramartha, yang khusus bergerak dalam kajian tasawuf. Khazanah tasawuf bertebaran di berbagai pelosok dunia Islam bak mutiara terpendam. Kekayaan ini menunggu diangkat, ditelaah, dan diintegrasikan satu sama lain agar membentuk kalung mutiara, yang bisa dinikmati dan didudukkan dalam konteks Islam yang semestinya. Itulah obsesi PICTS.
Maka, PICTS mencoba mengangkat khazanah tasawuf Indonesia ke tataran internasional. Khazanah Bhagdadi (Timur Tengah), yang selama ini mendominasi kajian tasawuf, dirasa makin lengkap bila ditautkan padanya berbagai mutiara lain yang selama ini “terpinggirkan”, seperti halnya khazanah tasawuf di Tanah Air.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, ada Forum Kajian Tasawuf Makassar dengan nama kajian “Serambi Suluk”. Menurut Imam Suhadi, mentor forum kajian itu, umumnya peserta yang memasuki forum kajian ini merasakan bahwa ajaran agama yang mereka peroleh terasa kering. “Mereka merasa kering dengan ritualitas-ritualitas keagamaan yang mereka tak mengerti visi dan tahapannya,” kata Imam kepada Zaenal Dalle dari Gatra. Jumlah anggotanya sekitar 30 orang.
Karena itu, kajian Serambi Suluk mempunyai beberapa tujuan, antara lain membuka wawasan dalam memandang ad-dien Islam dalam perspektif tasawuf, dan menuntun para pencari jalan menuju Allah Ta’ala. Sesuai dengan namanya, Serambi Suluk, menurut Imam, bermakna persiapan untuk berjalan menuju Allah Ta’ala.
Ada beberapa aktivitas yang dilakukan Forum Kajian Tasawuf Makassar, antara lain melakukan kajian darat Serambi Suluk setiap Sabtu dan Minggu, diskusi virtual melalui mailing list suluk@egroups.com, memublikasikan kajian-kajian melalui internet dengan alamat http://suluk.paramartha.org. Forum kajian ini, pekan lalu, meluncurkan jurnal dwimingguan, Risalah Taubat.
Bila ditilik dari jumlah pengikutnya, tarekat terbesar di Indonesia adalah Qadiriyah wa-Naqsabandiyah(TQN). Tarekat inilah yang akhir-akhir ini kian menarik perhatian masyarakat Jakarta. Saat ini, lokasi pembacaan manakib (biografi Abdul Qadir Jailani) dan khataman TQN tak kurang dari 110 tempat di Jakarta.
Dalam semalam, minimal ada tiga tempat untuk manakiban dan khataman. Mereka dibimbing sekitar 30 mubalig. Sesepuh TQN se-Jakarta dan sekitarnya adalah KH Abdul Rosyid Effendy, 61 tahun. Jumlah jamaah TQN se-Jakarta sekitar satu juta orang. Se-Indonesia sekitar tiga juta orang. Dalam tiap malam, manakiban di Jakarta, kata Rosyid, kini diikuti 20-30 orang baru.
Pengikut TQN tidak hanya kelas atas, melainkan dari semua lapisan, termasuk kelas bawah. Menurut Ketua Wilayah TQN Jakarta Utara, Maksum Saputra, ikhwan-ikhwan (anggota) TQN di wilayahnya banyak dari kalangan nelayan dan penjual ikan. Di Ciputat, Jakarta Selatan, antara lain diikuti pengusaha kerupuk dan kondektur bus. Di samping itu, banyak juga mantan menteri, artis, pengusaha, dan pejabat tinggi negara yang bersedia dibaiat menjadi jamaah TQN.
Menurut Rosyid, yang sejak 1994 diangkat sebagai Wakil Talqin (Khalifatul Mursyid) Abah Anom -yang bermukim di Suryalaya, Tasikmalaya, Jawa Barat- di Jakarta ini, masuk TQN tidak sulit. Cukup mengikuti acara manakiban, lalu diberi pengarahan sekitar setengah jam, ditalkin zikir sekitar lima menit, dan dibaiat. Baiat berisi janji setia pada Tuhan untuk menjalani amalan dalam TQN. Amalan itu intinya berisi zikir dzahir (bersuara) dan khafi (tak bersuara).
Di Jawa Timur, juga banyak aliran tarekat yang diserbu pengikut. Termasuk tarekat langka yang lama tenggelam. Di Dukuh Selamet, Desa Wringin Anom, Kecamatan Tumpang, Malang, ada tarekat Akmaliyah. Tarekat ini melanjutkan ajaran Syekh Siti Jenar, yang dipopulerkan Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir, Raja Pajang).
Tarekat Akmaliyah menganut paham teologi pembebasan. Bahwa setiap manusia berhak bertemu Tuhannya. Tarekat ini tak mengangkat mursyid sebagaimana aliran lainnya. Hanya ada semacam koordinator, dalam hal ini Kiai Ahmad, seorang petani biasa di Desa Wringin Anom itu. Lelakunya ringan, jumlah zikirnya tak dibatasi bilangan, disesuaikan dengan kemampuan, dan waktunya bebas.
Alumninya berjumlah ratusan. Antara lain Drs. Agus Sunyoto, MPd, 41 tahun. Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malang ini bergabung dengan tarekat Akmaliyah setahun lalu. Tarikat ini tak mengenal pemondokan dan pembaiatan. Setelah berdiskusi dengan Kiai Amad untuk meluruskan persepsi, jamaah bisa wiridan sendiri di rumahnya. “Tarekat ini cocok untuk orang sibuk,” ujar Agus. Menurut dia, tarekat Akmaliyah mampu menghubungkan manusia kepada roh Allah. “Akibatnya, hidup jadi lebih ringan,” katanya.
Asep Usman Ismail, kandidat doktor bidang tasawuf dari IAIN Jakarta, menilai bahwa tasawuf model tarekat lebih diterima kalangan menengah ke bawah. “Sementara kalangan menengah ke atas cenderung memilih tasawuf nontarekat,” tuturnya.
“Tasawuf yang diminati masyarakat kota jelas bukan model tarekat,” kata Asep. Mereka tidak berorientasi pada tasawuf klasik, seperti model tarekat dengan segala riyadhah-nya (pelatihan). “Itu tidak diminati, kecuali tarekat yang bisa menyesuaikan dengan suasana perkotaan,” ia menambahkan.
Bentuknya tentu yang singkat, esensial, dan instan. Dunia tasawuf bagi masyarakat kota, masih kata Asep, semacam obat gigi. “Saya resah, saya menemukan problem, saya stres, maka saya belajar tasawuf agar memperoleh ketenangan,” ujar Asep, menirukan keluhan para pengikut tarekat di kalangan perkotaan itu.
Asep juga menilai, dari lima komponen tarekat: mursyid, murid, wirid, tata tertib, dan tempat, yang paling berat bagi masyarakat kota adalah wirid dan tata tertib. Adapun tata tertib yang paling tidak masuk dalam logika orang modern adalah baiat kesetiaannya kepada guru. “Mereka ingin bebas tanpa baiat, dan tak mau terjebak kultus,” kata Asep. Orang-orang kota juga tidak berminat pada zikir yang panjang-panjang, apalagi harus berpuasa.

ULAMA YANG MENYESATKAN ULAMA



ULAMA YANG MENYESATKAN ULAMA


Hai orang-orang yang beriman, apabila orang-orang fasiq datang membawa berita kepadamu, maka periksalah lebih dahulu dengan seksama. Supaya jangan sampai mencelakakan orang lain, tanpa mengetahui keadaanya, Sehingga kamu menyesal akan kecerobohanmu itu “
(Al Hujurat Ayat 6)
Hai orang-orang beriman! Janganlah hendaknya satu kaum mencela kaum yang lain, dengan bentuk apapun. Boleh jadi mereka yang dicela, lebih baik dari mereka yang mencela.”
Hai orang-orang beriman! Jauhilah kebanyakan prasangka buruk. Sesungguhnya sebagian prasangka buruk itu, adalah dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain
(Al-Hujurat ayat 11-12)

Sejarah saling menuding sesat terhadap satu kelompok oleh kelompok lain sudah sangat sangat lama bahkan sama tuanya dengan sejarah agama itu sendiri. Perpecahan antara Sunni dan syiah mengawali sejarah saling tuding tersebut dimana ulama sunni yang menyebut diri sebagai Ahlul Sunnah dan di dukung oleh penguasa zaman itu menuding sesat bakan kafir kepada saudaranya dari kalangan Syiah. Konflik sunni syiah bukan hanya persoalan keyakinan akan tetapi lebih dominan unsur politik dan kepentingan penguasa saat itu.
Budaya sesat menyesatkan itu sepertinya sudah menjadi penyakit kronis di kalangan ulama dengan alasan mencegah kemungkaran dengan serta merta menunjuk telunjuk dengan lurus mengarahkan ke muka orang lain dan dengan mudah menuduh SESAT.
Kemarin (26/5) berita mengejutkan datang dari Aceh Timur dimana para ulama di sana mengeluarkan semua Ijma’ (kesepakatan) yang menyatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah yang di ajarkan oleh Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc sebagai aliran sesat dan menyesatkan. Ulama juga menganjurkan kepada pengikut tarekat itu untuk segera bertaubat dan kembali ke jalan yang benar sesuai dengan aliran ahli sunnah waj jamaah. Demikian berita yang saya baca di sebuah harian lokal di Aceh.
Tengku Muhibuddin Waly yang juga sekaligus sebagai Mursyid Tarekat Naqsyabandi di Aceh membacakan hasil keputusan ulama se Kecamatan Darul Aman, Aceh Timur sebagai berikut :
Setelah meneliti, mengkaji, dan mempertimbangkan, serta merujuk kepada Al Qur’an serta hadist, maka Tarekat Naqsyabandiyah yang mursyidnya Kadirun Yahya kami nyatakan tidak sesuai dengan aliran ahli sunnah wal jama’ah”.
Sangat menggelikan memang, karena yang menuduh sesat itu disamping sama-sama pengamal Tarekat Naqsyabandi juga sama-sama bermazhab Syafii dan otomatis sama-sama pengikut ahlul sunnah.
Ijma’ yang dimaksudkan dalam berita di koran itu jangan anda bayangkan seperti sebuah pertemuan yang seluruhnya di hadiri oleh ulama dan mengadakan musyawarah dengan sungguh-sungguh dengan memgeluarkan berbagai macam kitab dan pendapat-pendapat ulama dahulu sebagai berbandingan.Kejadian di Aceh Timur itu tidak lebih sebuah penghakiman massa. Seluruh masyarakat dari berbagai golongan dikumpulkan bersama orang-orang yang menyatakan diri sebagai ulama dalam acara yang mereka sebut sebagai Musyawarah Akbar Terbuka kemudian secara sepihak mengeluarkan keputusan yang disebut “Ijma’” bahwa Tarekat Kadirun Yahya adalah SESAT!

Tuduhan Menyakitkan
Selaku pengamal Tarekat Naqsyabandi, saya sangat menyayangkan sikap ulama di Aceh Timur terutama Tgk Muhibbudin Wali yang seharusnya bisa lebih bijak dan arif dalam menyikapi persoalan-persoalan tentang Tarekat. Beliau sebagai ulama tarekat yang disegani di seluruh Aceh seharusnya bisa menjadi jembatan penghubung antara orang-orang syariat dengan pengamal tarekat dan bisa menjadi pelindung para pengamal tarekat lain bukan malah menusuk dari belakang.
Ada beberapa tunduhan yang disampaikan kepada para pengamal Tarekat Kadirun Yahya dan mungkin tidak saya bahas disini secara mendetail karena tuduhan-tuduhan itu bukanlah fakta akan tetapi lebih kepada fitnah semata.
Menarik kita simak kesimpulan dari ulama di Aceh Timur : “Setelah meneliti, mengkaji, dan mempertimbangkan, serta merujuk kepada Al Qur’an serta hadist, maka Tarekat Naqsyabandiyah yang mursyidnya Kadirun Yahya kami nyatakan tidak sesuai dengan aliran ahli sunnah wal jama’ah”
Kalau mau di teliti seharusnya Tgk Muhibbudin Wali beserta ulama yang tergabung dalam Majelis Ulama Nanggro Aceh (MUNA), HUDA dan MPU kecamatan Darul Aman Aceh Timur juga meneliti pusat tarekat ini di Universitas Panca Budi dan surau-surau lain bukan hanya meneliti di satu tempat kemudian menetapkan hukumnya. Sekitar akhir tahun 1998 di depan Prof. Dr. Jamaan Nur (murid Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc) Tgk. Muhibbudin Wali menyatakan bahwa terekat Kadirun Yahya adalah muktabarah dan kalaupun ada perbedaan dengan tarekat naqsyabandi yang diamalkannya ibarat makan nasi yang berbeda lauk pauk sedangkan nasinya sama. Lalu kenapa dibelakang menyatakan pernyataan yang berbeda?
Kalaupun ada diantara pengikut tarekat Kadirun Yahya yang mengeluarkan pernyataan aneh dan tidak lazim seharusnya yang disesatkan adalah pribadinya bukan institusi. Sama halnya kalau ada polisi mencuri bukan lembaga kepolisian yang dibubarkan akan tetapi oknumnya yang di tindak. Kalau ingin menjadi ulama yang baik, seharusnya Tgk. Muhibbudin Waly memanggil para pengamal tarekat kemudian memberikan arahan dan bimbingan serta menasehati pengamal tarekat Kadirun Yahya agar hati-hati dalam menyampaikan kajian hakikat kepada masyarakat awam. Tgk. Muhibbudin bisa menghubungi pimpinan tarekat Kadirun Yahya yang ada di Medan dan saling bermusyawarah serta menjelaskan duduk persoalannya. Bukankah murid-murid Prof. Dr. Kadirun Yahya MA, M.Sc sebagian besar juga ulama yang memiliki ilmu pengetahuan syariat Islam di atas rata-rata, salah satunya adalah Prof. Dr. KH. Jamaan Nur, Guru Besar IAIN Raden Fatah Palembang.
Tgk Muhibbudin Wali tahun 2002 pernah ikut dalam acara pertemuan tarekat serumpun di Universitas Panca Budi dan dari hasil pertemuan itu disimpulkan bahwa Tarekat Serumpun semuanya muktabarah dan tidak menyimpang dari ajaran Islam. Tarekat Serumpun adalah tarekat Naqsyabandi yang mursyidnya bertemu di silsilah Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubis Mekkah dan Tarekat Kadirun Yahya termasuk salah satu tarekat serumpun yang muktabarah.
Syekh Sulaiman Zuhdi mempunyai banyak murid di Indonesia antara lain :
  1. Syekh Abdul Wahab Rokan yang di kenal dengan Syekh Basilam yang mendirikan perkempungan Tarekat Babussalam di Langkat Sumatera Utara.
  2. Syekh Sulaiman Hutapungkut di daerah Sidempuan, Sumatera Utara. Salah seorang Murid Syekh Hutapungkut adalah Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi dari Padang yang kemudian melanjutkan berguru kepada Syekh Ali Ridho di Jabal Qubais.
  3. Syekh Ali Ridha di Mekkah yang kemudian meneruskan silsilahnya kepada Syekh Muhammad Hasyim Al-Khalidi di Buayan Sumatera Barat dan kemudian meneruskan silsilahnya kepada Syekh Kadirun Yahya MA. M.Sc Al-Khalidi.
  4. Syekh Usman Fauzi di Jabbal Qubais yang meneruskan silsilahnya kepada Syekh Abdul Gani Batu Basurat di Riau dan kemudian meneruskan Silsilahnya kepada Abuya Syekh Muhammad Waly Al-Khalidy yang dikenal juga dengan sebutan Syekh Muda Wali di Labuhan Haji Aceh Selatan.
Abuya Syekh Muda Waly yang juga orang tua kandung dari Tgk. Muhibbudin waly mempunyai beberapa orang anak yang kesemuanya meneruskan misi orang tua mereka menyebarkan tarekat yaitu :
  1. Tgk Muhibbudin Waly
  2. Tgk. Amran Waly
  3. Tgk. Jamaluddin Waly
  4. Tgk. Muhammad Nasir Waly LC
Antara Abuya Syekh Muda Waly dengan Prof. Dr. S.S. Kadirun Yahya masih satu guru dan sama-sama berada pada urutan ke-35 di hitung sejak Saidina Abu Bakar Siddiq. Kedua Syekh ini bertemu pada Ahli Silsilah ke-32 yaitu Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubis Mekkah.
Kalau hari ini Tgk. Muhibbudin Wali menyatakan sesat kepada Prof. Dr. S.S. Kadirun Yahya itu sama dengan anda menyatakan sesat kepada diri sendiri karena ajaran tarekat yang beliau amalkan itu bersumber kepada satu Guru.
Kalau tulisan ini dibaca oleh Tgk Muhibbudin Waly atau salah seorang muridnya, saya ingin membuat sebuah permisalan. Misalkan suatu saat anda mempunyai banyak sekali murid dan meneruskan tarekat yang anda bawa dan murid anda pada generasi ke tiga saling menyalahkan dan menyesatkan, bagaimana perasaan anda?
Suatu saat murid dari Tgk. Amran Waly di Labuhan Haji mengeluarkan pernyataan sesat kepada salah seorang murid anda, bagaimana perasaan anda dan bagaimana sedihnya Abuya Syekh Muda Wali mengetahui hal ini.
Saya dapat informasi, Tgk. Amran Waly mengeluarkan pernyataan hakikat bahwa nabi Mumammad adalah wadah dari Allah dan orang-orang Aceh Utara yang awam sekali ilmu hakikat menyatakan Beliau sesat dan Tgk Muhibbudin Waly berdiam diri tanpa ada pembelaan padahal itu adalah saudaranya. Apakah anda juga ikut menyalahkan Tgk. Amran Waly?
Apakah pernah Abuya Syekh Muda Waly menyatakan sesat kepada orang lain?
Beliau tidak pernah menuduh orang lain sesat walaupun hampir semua pengikut Muhammadiyah menyatakan Beliau sesat bahkan kafir. Beliau adalah orang yang telah sampai kepada makrifat dan tentu saja tidak dengan mudah menyatakan orang lain sesat. Saya bisa maklumi kondisi Tgk. Muhibbudin Waly yang belum cukup ilmu untuk memahami rahasia-rahasia Allah.
Kalau Tgk. Muhibuddin ingin menjadi satu-satunya Mursyid tarekat di seluruh Aceh tidak harus dengan cara menginjak tarekat lain karena kalau sikap itu dipertahankan maka suatu saat anda akan disesatkan oleh orang lain.

Sesat Menyesatkan dan Konflik Berdarah di Aceh
Nurudin Ar-Raniry yang berasal dari Ranir India ingin sekali menjadi ulama nomor satu di Aceh. Salah satu cara yang dilakukannya adalah menyatakan sesat kepada ulama selain dia. Nurudin Ar-Raniry mengeluarkan pernyataan sesat kepada Hamzah Fanshury yang berpaham wahdaul wujud dan menfatwakan pengikut Hamzah Fanshury halal darahnya. Setelah Nurudin Ar-Raniry mengeluarkan fatwa sesat dan halal darah maka efeknya sungguh tragis dan memilukan. Hampir semua murid-murid Hamzah Fanshury di bunuh. Di depan mesjid raya Baiturahman, pengikut Hamzah Fanshury di bakar hidup-hidup beserta karya-karyanya. Akibat dari perbuatan itu, 100 tahun kemudian Belanda menyerang Aceh dan membakar habis mesjid Raya Baiturahman tanpa sisa dan Aceh melewati sejarahnya dengan berdarah dan konflik yang tak berkesudahan.
Apakah anda ingin menjadi Ar-Raniry di zaman ini?
Mungkin sebagian yang membaca tulisan ini tidak percaya hubungan antara tuduhan sesat menyesatkan dengan konflik di Aceh. Coba renungi fakta berikut:
  1. Zaman Sultan Iskandar Muda hampir seluruh Aceh menjadi pengamal berbagai macam Tarekat, pengikut terbesar dari Tarekat Syattariyah yang mursyidnya adalah Syekh Abdul Ra’uf As-Singkily yang dikenal dengan Syiah Kuala dan merupakan keponakan dari Hamzah Fanshuri. Aceh mengalami kemajuan dan kemakmuran yang luar biasa. Kemudian pada masa Sultan Alaidin Iskandar Tsani (menantu Iskandar Muda) telah melarang tarekat secara resmi. Pemimpin Tarekat pada masa itu adalah Syamsudin As-Sumatrani (Wafat tahun 1630), murid dari Hamzah Fanshuri. Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba dalam bukunya “Ilmu Thariqat dan Hakikat” menceritakan bahwa Ulama-ulama Aceh telah mengadakan musyawarah dibawah pimpinan Mufti Syekh Nurudin Ar-Raniry dan musyawarah memutuskan bahwa penganut tarekat dianggap kafir, murtad dan harus di bunuh mati. Menurut Tgk. H. Hasan Krueng Kale, seorang tokoh ulama di Aceh, pada masa itu telah terbunuh 70 orang penganut tarekat. Akibat tindakan itu Aceh seperti menerima azab dari Allah, diserang oleh Belanda, mesjid di Bakar dan konflik tak berkesudahan.
  2. Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh, sebagian besar yang duduk disana adalah orang-orang berpaham wahabi mengadakan musyawarah Tanggal 3-8 November 1974 di Banda Aceh dan mengeluarkan fatwa antara lain bahwa Tarekat-terakat yang berkembang di Aceh saat ini pada prakteknya bertentangan dengan Syari’at Islam. Menyatakan sesat dan menyesatkan kepada pengikut Tarekat Mufarridiah yang diajarkan oleh Syekh Makmum Yahya berpusat di Tanjung Pura Langkat, Sumatera Utara. Setelah mengeluarkan sesat menyesatkan itu 2 tahun kemudian 4 Desember 1976 dimulailah konflik berdarah di Aceh sampai di cabut DOM tahun 1998.
  3. Pada bulan Oktober 1998 Surau Panton Labu Aceh Utara milik yayasan Prof. Dr. SS. Kadirun Yahya MA M.Sc dibakar masa atas pengaruh beberapa ulama termasuk pernyataan Tgk. Muhibbudin Wali yang mangatakan sesat kepada tarekat Kadirun Yahya. Setelah Alkah Zikir Panton Labu di bakar tidak lama kemudian mulai lagi konflik berdarah di Aceh dengan episode yang lebih memilukan, di mulai dengan Tragedi Ara Kundo, Simpang KKA dan diikuti berbagai macam tragedi lain, ribuan nyawa melayang sampai masa damai sekarang ini.
  4. Hari ini Tgk. Muhibbudin Wali beserta ulama-ulama yang terpengaruh oleh politik mengeluarkan peryataan sesat kepada Tarekat Kadirun Yahya, semoga Allah mengampuni dosa Tgk. Muhibbudin Wali beserta ulama lain dan segera menarik pernyataannya agar kelak generasi penerus Aceh tidak menyalahkan anda oleh bencana yang akan menimpa. Jangan sampai Azab Allah menimpa orang-orang yang tidak berdosa hanya gara-gara segelintir ulama.
Apa hubungan memusuhi orang-orang yang dikasihi Allah dan orang-orang yang ikhlas berzikir kepada-Nya dengan bencana?
Hal ini di terjawab dengan sebuah hadist qudsi :
“Barang siapa yang memusuhi Wali-KU akan KU nyatakan perang kepadanya” (HR. Bukhari)
Silahkan meneruskan permusuhan anda dengan orang-orang Tarekat dan kita hanya menunggu Allah menyatakan perang kepada anda dalam bentuk yang tidak pernah terbayangkan.

Penutup
Tuduhan sesat kepada Tarikat Kadirun Yahya menandakan kurang matangnya ilmu yang dimiliki oleh orang-orang yang mengaku ulama termasuk Tgk. Muhibbudin Waly karena persoalan Hakikat kalau dilihat dari kacamata syariat tidak akan pernah ketemu. Prof Dr. Kadirun Yahya telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk kepentingan ummat dan mempunyai murid jutaan orang di seluruh dunia dan menerima ilmu tarekat lewat jalur silsilah yang benar tentu sangat tidak bijak kalau setelah Beliau tiada kita menuduh tarekat Beliau sebagai tarekat sesat.
Saya kagum dengan ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Prof. Dr. Muslim Ibrahim MA, yang tidak pernah sembarang mengeluarkan pernyataan. Ketika orang menanyakan pendapat Beliau tentang tarekat yang disesatkan orang dengan senyum beliau menjawab : “Jangan mudah kita menuduh sesat kepada orang lain karena pertanggung-jawabannya bukan hanya di dunia akan tetapi juga di akhirat kelak di hadapan Allah. Hanya Allah yang mengetahui siapa sesat dan siapa benar”.
Semoga di Aceh akan banyak ulama-ulama arif seperti Prof. Dr. Muslim Ibrahim MA yang sangat bijak menyikapi setiap persoalan dan selalu berpihak kepada ummat bukan berpihak kepada kepentingan politik segelintir orang.

Mengapa Syariat harus bermusuhan dengan Hakikat ?




Mengapa Syariat harus bermusuhan dengan Hakikat ?


Selama ini diasumsikan bahwa antara syariah dengan tasawuf merupakan dua sisi ang selalu dihadapkan secara vis a vis. Fanatisme syariah (baca : fuqaha) memandang haram atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil dan argumentasi, baik secara naql maupun nalar. Sementara para pelaku tasawuf tidak ketinggalan dalam mengkritik para fuqaha yang hanya melihat hitam di atas putih dan formalitas belaka, tanpa menangkap essensi Islam. Rumor di kalangan masyarakat jawa, bahwa syaringat (bacaan orang jawa) itu dipahami nek sare njengat atau kata Mekah dipahami nek turu mekakah menjadi salah satu bukti kesenjangan antara syariat dan tasawuf.

Patut dicatat, bahwa insiden al-fitnah al-kubra yang menghantarkan jatuhnya Khalifah Ali dari ke-khilafah-an, diganti Muawiyah merupakan sumber utama bagi perpecahan kaum muslimin dalam berbagai sekte dan aliran.
Para analis sepakat bahwa, peristiwa ini awalnya bersifat politis, kemudian merembet kepada wilayah aqidah serta aspek-aspek keagamaan lainnya. Fenomena semacam ini pada akhirnya juga mewarnai hampir semua polemik di tubuh umat Islam yang mengatasnamakan agama.
Al-Hallaj (w. 309 H) diekskusi dengan dakwaan menyebarluaskan ajaran hulul dalam tasawuf. Ajaran itu diputuskan sesat oleh penguasa berdasar legitimasi para fuqaha mazhab dhahiriy.
Penentuan sesat atas pengalaman batin al-Hallaj jelas lebih bermuatan politis, karena keberpihakan al-Hallaj –sebagai seorang shufi agung yang sudah tidak ada ruang untuk membenci– kepada rakyat kecil dan kelompok marginal; seperti syiah, qaramithah serta non-muslim.
Di pula Jawa, kasus serupa dialami Syaikh Siti Jenar (Lemah Abang) yang didakwa menyebarkan ajaran manunggaling kawula Gusti, sehingga oleh para wali kerajaan saat itu divonis hukuman pancung. Dari sinilah akhirnya para fuqaha yang dimotori kepentingan politis penguasa menciptakan ketegangan yang tak berujung antara syariah dan tasawuf. Kebebasan para shufi dalam menaungi pengalaman batinnya serba diatur oleh hukum formal. Karena itu, image pemisahan syariah dan tasawuf pada mulanya lebih sebagai fenomena politisasi agama yang berimbas pada dichotomi dua unsur utama ajaran Islam tersebut oleh kalangan awam atau dijadikan senjati bagi para penguasa untuk mempertahankan status quo.
Distingsi kedua aspek penting dalam ajaran Islam tersebut sangat dimungkinkan, karena antara keduanya memiliki sisi yang jelas tidak dapat dipersamakan. Bahwa tasawuf itu lebih menempati wilayah batin atau hati, suatu daerah yang tak dapat ditembus oleh inderawi manusia. Wilayah ini bersifat immateri yang permanen. Ia hanya dapat diteropong melalui cahaya (nur) emanasi Tuhan ke dalam masing-masing qalbu manusia yang hanya dapat dideteksi melalui bashirah (mata hati). Sementara, syariah bersifat lahiriah yang legal-formal yang dapat ditangkap mata telanjang.
Integrasi syariah dengan tasawuf dengan demikian menjadi syarat mutlak bagi kesempurnaan seorang muslim. Syariah merupakan elaborasi dari kelima pilar Islam, sedangkan tasawuf berpangkal pada ajaran ihsan,
an-tabudallaha ka-annaka tarah, fa-in-lam takun tarah, fainnahu yarak,
hendaknya kalian beribadah (bersyariat) seakan-akan kamu milhat-Nya, jika tidak sesungguhnya Dia melihatmu.
Implikasinya, jika dalam syariat diwajibkan thaharah (bersuci) sebelum melaksanakan ibadah, maka untuk mampu menembus penglihtan Tuhan, tasawuf mewajibkan penyucian diri melalui pintu taubat.
Kemudian apabila seorang sedang shalat; syariat mengharuskan memenuhi syarat dan rukun, sementara tinjauan ihsan (shufistik) mengharuskan aktivitas hati yang tulus, hudlur dan khusyu. Semakin mendalam realisasi shufistik seseorang, pada gilirannya justeru semakin meningkatkan kualitas ke-Islam-an dan syariah orang tersebut dalam mencapai derajat muhsin.
Di sisi lain, penguatan aspek tasawuf juga akan menjadi dinamisator bagi jiwa seseorang. Kehadiran tasawuf mampu memicu ats-Tsaurah ar-Ruhiyyah (revolusi jiwa) dan menjadi spirit bagi pelakunya. Sebaliknya, syariat ibarat jalan yang akan dilalui shufi dalam ber-revolusi, Apabila terlalu banyak hambatan dan lobangannya jangan harap akan sampai pada terminal akhir. Secara eksplisit Allah swt sering menyitir bahwa, wa maa khalaqtul jinna wal-insa illa li-ya buduni,
Maknanya, bahwa penciptaan jin dan manusia hanyalah untuk marifat kepada-Nya. Marifat (pengenalan) mula-mula dengan secara inderawi (syariah), namun setelah semakin dekat relasi inderawi saja tentu belum cukup, maka muncullah pengalaman mahabbah (cinta), hulul, ittihad hingga wihdatul wujud dari para shufi.
Dalam firman-Nya yang lain, “wa lal-akhiratu khairun la-ka minal-ula” tidakkah, masa depan (akhirat, ihsan/tasawuf) lebih baik daripada yang permulaan (dunia, syariat).
Nilai-nila spirit tasawuf atas syariah juga dapat kita jumpai dalam setiap maqamat (station-station) dan ahwal para shufi, misalnya :
1. Taubat yang didasarkan atas firman Allah swt yaa ayyuhal-ladzina amanuu tuubuu ilallahi taubatan nashuha,akan menumbuhkan sikap konsekuen dan tanggung jawab seorang hamba;
2. Zuhud yang disandarkan atas firman-Nya wa kaanuu fi-hi minaz-ahidin, akan meningkatkan kebesaran jiwa manusia;
3. Faqr yang disandarkan firman-Nya lil-fuqarail-ladzina uhshiruu fii sabiilillah..akan membentuk jiwa yang kharismatik dan mengikis sikap oportunis;
4. Sabar yang didasarkan firman Allah innama yuwaffash-shaabiruuna ajrahum bi-ghairi hisab, akan membentuk pribadi yang bermental baja;
5. Tawakkal yang bersumber dari firman Allah wa alallahi fal-yatawakkalil mutawakkilun, akan membangun independensi seseorang,
6. Syukur fadzkuruu-ni adzkurkum, wasykuruu lii wa-laa takfurunakan memberangus keserakahan seseorang;
7. dan lain-lain demikian seterusnya.
Integrasi syariat dan tasawuf juga nampak dari pertautan ajaran jihad dengan mujahadah. Jihad bersifat fisik, seperti berperang di medan pertempuran, memerangi tempat kemaksiatan serta perjuangan material lainnya. Sementara mujahadah lebih menekankan visi ruhani dalam menahan hawa nafsu, amarah serta penyakit hati lainnya. Kedua bentuk pertempuran di atas dalam Islam jelas tidak dapat dipilah-pilahkan antara satu dengan lainnya, karena justeru akan menjadi komplemen.
Wal-Hasil, syariah dan tasawuf sebetulnya merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat dinegasikan dan dipertentangkan antara satu sisi dengan sisi lainnya. Penghadapan kedua sisi tersebut secara vis a vis, selain akan memperlihatkan kebodohan seseorang, juga memberikan indikasi adanya upaya politisasi Islam.
Karena itu, persoalan agama, sepanjang tidak dijadikan komoditas politik akan mendamaikan kehidupan manusia, tetapi jika sebaliknya akan nampak keras dan tidak membawa kesejahteraan. Mereka yang termasuk kelompok terakhir, pasti bukan tipologi shufi. Tasawuf dengan demikian mampu menjadi muara bagi semua madzhab (sekte) yang bertebaran di bidang syariah, baik di kalangan sunni, syii, mutazili maupun lainnya. Bahkan syariat lintas agama pun mampu bersarang dalam tasawuf. Inilah essensi dan substansi Islam.