Rabu, 18 April 2012

Dunia Sufi di Mata Sufi




Sahabat…Membicarakan dunia Sufi atau juga dikenal sebagai dunia thariqah, dunia tashawwuf, dunia ahli hikmah, dunia kaum ‘Arifin, dunia Esoterisme Islam dan nama-nama lain yang maksudnya sama tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun.
Berbagai jenis manusia, seperti Biarawan di tempat persemediannya, Fakir di puncak gunung, saudagar di tokonya, raja dengan singgasananya — semuanya mungkin menjadi Sufi, namun bukan penganut Sufisme.
Tradisi Sufi memang ada, namun Sufisme itu laksana adonan asam (”Sufisme laksana ragi”) dalam setiap masyarakat. Jika tradisi Sufi itu selalu menjadi bidang kajian akademis yang rumit, karena sebagai suatu subyek penelitian ia sama sekali berbeda dengan skolastisisme. Tingkat kemajemukannya itu sulit untuk disistematisasikan dalam bentuk semi-permanen sehingga mudah diteliti. Menurut Sufi sendiri, “Sufisme adalah suatu petualangan hidup, petualangan penting.”
Jika Sufisme itu merupakan suatu petualangan, suatu cita-cita menuju kesempurnaan manusia yang dicapai melalui pencerahan dan pengembangan fungsi organis, keutuhan dan nasib kemanusiaan, lalu mengapa ia begitu sulit dipahami, dilacak asal-usulnya, ditunjukkan bukti-buktinya?
Ya, memang demikian, karena Sufisme ada dalam setiap masyarakat dan setiap zaman sehingga ia mempunyai keberagaman sedemikian rupa — dan inilah salah satu rahasianya. Sang Sufi tidak membutuhkan masjid, bahasa Arab, serangkaian doa-doa, buku-buku filsafat, bahkan stabilitas sosial, karena hubungannya dengan kemanusiaan bercorak evolusioner dan adaptif.
Sufi tidak bergantung pada reputasi karena kemampuannya memeragakan kekuatan magis dan keajaiban – hal ini tidak lebih dari kegiatan insidentil,meskipun ia mungkin mendapatkan reputasi untuk itu. Sementara ahli sihir dari sistem mistik lainnya bertolak dari tujuan yang berbeda. Reputasinya diandalkan dan mungkin didukung keajaibannya.Sufi pun mempunyai reputasi, namun tetap bersifat sekunder dalam keseluruhan amalnya. Keberadaannya merupakan suatu peran dari organisme Sufi.
Otoritas moral atau kepribadian yang menarik dari para Sufi bukan tujuan utama mereka, namun hasil pencapaian batiniah dan refleksi perkembangan mereka.Seorang Sufi berkata, “Seandainya laron bisa berpikir, ia mungkin akan benar-benar percaya bahwa nyala api lilin itu sangat penting, karena ia menunjukkan kesempurnaan. Nyala api itu sebenarnya hasil dari lilin, sumbu dan percikan api.Apakah manusia itu masih mencari nyala api atau percikan api? Amatilah laron itu. Karena dikelabui nyala api, nasibnya pasti engkau ketahui, namun tak disadari olehnya.”
Tentu saja Sufi dinilai di dunia luar dari apa yang dilakukan dan dikatakannya. Ada suatu anggapan bahwa ia adalah seorang jutawan. Para pengamat yang berpikir bahwa ia menjadi seorang jutawan karena cara hidupnya, yaitu Sufisme, mungkin menganggap fenomena itu sebagai proses menjadi seorang jutawan.
Namun menurut Sufi, hal itu adalah realisasi batiniah dan evolusi melalui pencapaian batiniahnya. Uang mungkin merupakan suatu refleksi lahiriah, namun sangat tidak berarti dibandingkan pengalaman-pengalaman Sufi.Hal ini bukan berarti, sebagaimana diasumsikan banyak orang bahwa ia adalah seorang jutawan yang telah dipengaruhi mistisisme, dan bahwa uang tidak berarti baginya. Perkembangan sedemikian rupa tidak mungkin bagi Sufi, karena materi dan metafisika berkaitan dalam suatu kondisi terbaik yang dipandang sebagai suatu rangkaian.la mungkin menjadi jutawan yang tidak saja kaya materi, namun jiwanya tetap utuh.
Banyak orang merasa kesulitan untuk memahami fakta sangat penting yang hanya digunakan untuk berbagai kepentingan oleh mereka.
Dalam praktek populer, sejak dari Calcutta sampai California, orang biasa akan bisa mencapai puncak pemahaman filosofis dengan mengatakan berulangkali kata bijak kepada dirinya sendiri atau meyakinkan orang lain yang menyadari bahwa “uang bukanlah segalanya” atau “uang tidak mendatangkan kebahagiaan”. Fakta ini pun menunjukkan bahwa pikiran tersebut berasal dari asumsi sebelumnya, yaitu bahwa uang bisa digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan transendental. Dalam praktek tidak demikian.
Namun, filosuf yang bersahaja tidak bisa memahami mengapa demikian. Bagi orang yang tidak punya uang, masalah ekonomi yang paling mendesak hanya bisa diselesaikan dengan uang. Pendeta menasehatinya bahwa uang bukan penyelesaian yang baik. Akibatnya bila ia memperoleh uang, tidak akan merasa puas. Sebenarnya ada tiga faktor yang bisa dipadukan olehnya dengan penjelasan berikut ini.
Psikologi modern telah membuktikan efektivitasnya, misalnya ketika ia menyatakan bahwa keinginan memiliki uang itu muncul dari suatu perasaan tidak aman. Akan tetapi psikologi modern sendiri masih belum sempurna. Secara historis ia masih mengalami pasang surut. Sementara Sufi bertolak dari pandangan dasar yang berbeda. Menurut Sufi, kehidupan ini adalah perjuangan, akan tetapi perjuangan itu harus mempunyai koherensi. Manusia biasanya berjuang menghadapi begitu banyak masalah sekaligus. Bila seseorang yang bingung dan berjiwa labil memiliki uang, menjadi pekerja yang sukses, maka ia akan tetap bingung dan labil.
Psikologi masih mempelajari obyek kajiannya, sementara Sufisme sudah sedemikian lanjut. Sufisme mentransformasi pikiran dari ketidaklogisan alamiah dan dipengaruhi oleh lingkungan, suatu instrumen manusia yang mampu mengangkat martabat dan nasibnya.
Psikologi Freudian dan Jungian yang telah tersebar di Barat tidak mengandung gagasan baru dari sudut pandang Sufi. Argumen seksual Freud itu telah dibahas oleh Syekh Sufi, al-Ghazali, dalam karyanya Kimiyyatus Sa’adah (Kimia Kebahagiaan, yang ditulis lebih dari sembilan ratus tahun yang lalu). Karya ini adalah buku standar di kalangan teolog Muslim. Sementara teori arketip Jung bukanlah gagasan orisinalnya, namun telah dibahas oleh guru Sufi, Ibnu Arabi — hal ini dicatat oleh Profesor Rom Landau dalam The Philosophy of Ibu Arabi (New York, Macmillan, 1959, hlm. 40 dan seterusnya).
Para Sufi dari semua tarekat telah terbiasa mendalami karya al-Ghazali itu dan karya-karya Ibnu Arabi. Oleh karena itu, mereka tidak asing lagi dengan pola-pola dan jangkauan pemikiran yang dianggap modern itu.
Karena beberapa alasan, Sufisme tidak mudah dipelajari melalui psikologi. Alasan paling menarik bagi ilmuwan Barat mungkin karena Sufisme merupakan suatu sistem psikologis yang lebih lanjut dibandingkan sistem psikologis mana pun yang sedang dikembangkan di Barat. Namun Sufisme sama sekali bukan psikologi Timur, ia adalah psikologi manusia. Fakta sederhana ini tidak perlu dijelaskan. Kita cukup menyebutkan pengakuan Jung bahwa psikoanalisis Barat hanya merupakan psikologi pengantar dibandingkan psikologi Timur itu:“Psikoanalisis sendiri dan batas-batas pemikirannya yang sedang dikembangkan — tentu saja suatu perkembangan khas Barat — hanyalah suatu percobaan awal dibandingkan psikologi Timur yang terlupakan itu.”Sementara itu Jung hanya mengacu pada beberapa bagian dari pemikiran Timur itu. Keutuhan (ajaran Sufi) tidak bisa dipelajari sebagian. Pemula tidak dapat menilai karya pakar dalam bidang apa pun, termasuk Sufisme.Apa yang disebut pendekatan ilmiah terhadap fenomena manusia dan hubungan manusia dengan makhluk lainnya hanyalah sebatas pemikiran filosofis. Seperti pemikiran diskursif, ilmu pengetahuan hanya bekerja dalam ruang lingkup yang sesuai dengan praduganya. Hal ini diingatkan oleh Profesor Graves:“… para ilmuwan berhati-hati dalam mengutarakan berbagai anggapan mereka menurut rumus-rumus matematis yang secara artistik diterapkan pada masalah-masalah tertentu, seperti struktur atom atau temperatur bintang-bintang, sehingga dapat memberikan hasil yang ‘mengesankan’. Rumus-rumus itu diterapkan agar bisa dipercaya dan untuk bidang-bidang pemikiran — meskipun tidak dapat diterapkan dalam bidang-bidang yang berbeda; namun harus ada suatu titik persamaan antara rumus dan kasus … Suatu hasil yang mengesankan sama dengan suatu bukti nyata dan hanya dapat digugurkan dengan hasil yang lebih mengesankan.”
Disamping ajaran Sufi yang utuh itu tidak bisa dipelajari sebagian, kita juga tidak bisa memungkiri fakta bahwa sesuatu tidak mungkin meliputi seluruh bidang kajiannya sendiri sekaligus. Guru Sufi Pir-i-Do-Sara menyatakan:“Dapatkah engkau membayangkan bahwa pikiran bisa mengamati dirinya secara menyeluruh — jika semua bidang pemikiran dimasukkan dalam pengamatan, lalu apa yang akan menjadi obyek pengamatan? Jika semua termasuk yang dipikirkan, lalu siapa yang melakukan pengamatan? Pengamatan terhadap diri penting sepanjang ada suatu diri yang benar-benar berbeda, yaitu bidang di luar diri …”
Para Sufi menegaskan bahwa organisme yang biasa disebut Sufisme mempunyai suatu aliran langsung, yaitu pengalaman evolusioner yang menjadi faktor penting dalam semua madzhab mistik. Untuk membuktikan hal ini, ada beberapa hal menarik dalam menelusuri perkembangan gagasan Sufi itu. Bila para Sufi terbukti mempunyai kekuatan penetratif, yaitu suatu kemampuan mempengaruhi pemikiran dan tindakan masyarakat, maka dinamisme inti dari sistem ajaran mereka dapat kita duga. Dengan kata lain apakah ada alasan untuk menduga bahwa aliran Sufi mempunyai kemampuan mempengaruhi pemikiran manusia, katakanlah di Eropa Barat? Sepanjang periode klasik Sufisme yang didokumentasikan secara agak baik, apakah Sufisme telah menembus tabir abad kegelapan, membangkitkan dan mengembangkan masyarakat dengan latar belakang berbeda? Adakah Sufisme organis di masa itu?
Hal ini mengesankan bahwa, sejak masa lalu, para guru Sufi telah menyampaikan tradisi pengetahuan mereka kepada hampir setiap masyarakat. Menurut tradisi Sufi, transmisi pengetahuan itu adalah faktual. Pada masa-masa yang lebih modern, penandasan transmisi itu hanya dapat diselidiki melalui munculnya praktek-praktek Sufi yang nyata dalam berbagai masyarakat yang jauh dari pusat-pusat Sufi Asia. Akan tetapi esensi kegiatan Sufi tidak kelihatan. Sepanjang kita masih berusaha menyelidiki, maka ada jejak-jejak di sana-sini — seperti jejak radioaktif kadangkala sampai ke dalam aliran darah manusia — tentang tradisi pengetahuan dan praktek Sufi yang khas dan masih mempertahankan corak lokalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar