Rabu, 18 April 2012

Wali Allah VS Wali setan?



Wali Allah VS Wali setan?


Anggapan yang telah menyebar di kaum muslimin pada umumnya, terutama yang ada di Indonesia bahwasanya yang disebut wali Allah adalah orang-orang yang memiliki kekhususan-kekhususan yang tidak dimiliki oleh orang-orang biasa. Yaitu mampu melakukan hal-hal yang ajaib yang disebut dengan karomah para wali. Sehingga jika ada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi tentang syari’at Islam namun tidak memiliki kekhususan ini maka kewaliannya diragukan. Sebaliknya jika ada seseorang yang sama sekali tidak berilmu bahkan melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah U dan meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah U, namun dia mampu menunjukan keajaiban-keajaiban (yang dianggap karomah) maka orang tersebut bisa dianggap sebagai wali Allah U.  

Hal ini disebabkan karena kaum muslimin (terutama yang di Indonesia) sejak kecil telah ditanamkan pemahaman yang rusak ini. Apalagi ditunjang dengan sarana-sarana elektronik seperti adanya film-film para sunan yang menggambarkan kesaktian para wali. Tentunya hal ini adalah sangat berbahaya yang bisa menimbulkan rusaknya aqidah kaum muslimin.

Ketahuilah Allah U telah menjelaskan dalam kitab-Nya dan sunnah Rosul-Nya bahwasanya Allah U memiliki wali-wali dari golongan manusia dan demikian pula syaithon juga memiliki wali-wali dari golongan manusia. Maka Allah U membedakan antara para wali Allah dan para wali syaithon.[1] Sebagaimana firman Allah U :

اللهُ ولي الذين آمنوا يخرجهم من الظلمات إلى النّور و الذين كفروا أولياؤهم الطاغوت يخرجونهم من النور إلى الظلمات ألئك أصحاب النار هم فيها خالدون

Allah adalah wali (penolong) bagi orang-orang yang beriman. Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir penolong-penolong mereka adalah thogut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan-kegelapan. (Al-Baqoroh : 256)

فإذا قرأت القرآن فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم. إنه ليس له سلطان على الذين آمنوا وعلى ربهم يتوكلون. إنما سلطانه على الذين يتولونه و الذين هم به مشركون

Jika engkau membaca Al-Qur’an maka berlidunglah kepada Allah dari (godaan) syaithon yang terkutuk. Sesungguhnya tidak ada kekuatan baginya terhadap orang-orang yang beriman dan mereka bertawakal kepada Rob mereka. Hanyalah kekuatannya terhadap orang-orang yang berwala’ kepadanya dan mereka yang dengannya berbuat syirik. (An-Nahl :98-100)

ومن يتخذ الشيطان وليا من دون الله فقد خسر خسرانا مبينا

Dan barangsiapa yang menjadikan syaithon sebagai wali selain Allah maka dia telah merugi dengan kerugian yang nyata (An-Nisa’ : 119)

الذين آمنوا يقاتلون في سبيل الله و الذين كفروا يقاتلون في سبيل الطاغوت فقاتلوا أولياء الشيطان إن كيد الشيطان كان ضعيفا

Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah dan orang-orang kafir berperang di jalan thogut. Maka perangilah para wali-wali syaithon sesungguhnya tipuan syaithon itu lemah. (An-Nisa’ : 76)[2]

Mak wajib bagi kita untuk membedakan manakah yang merupakan wali-wali Allah dan manakah yang merupakan wali-wali syaithon, sebagaimana Allah dan Rosulullah membedakannya.[3]Definisi wali

Wali diambil dari lafal al-walayah yang merupakan lawan kata dari al-‘adawah. Adapun arti dari al-walayah adalah al-mahabbah (kecintaan) dan al-qorbu (kedekatan). Sedangkan arti al-‘adawah adalah al-bugdlu (kebencian) dan al-bu’du (kejauhan). Sedangkan wali artinya yang dekat.[4]Siapakah yang disebut wali Allah ?

Yang disebut wali Allah adalah orang yang dia mencintai Allah U dan dekat dengan Allah U. Dan orang seperti ini harus memiliki sifat-sifat berikut :

1.      Dia harus ittiba’ (mengikuti) Nabi r, menjalankan perintah Nabi r dan menjauhi larangan-larangan beliau. Berdasarkan firman Allah U:

قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني يحببكم الله

Katakanlah :”Jika kalian mencintai Allah maka ikutlah aku maka Allah akan mencintai kalian” (Ali Imron :31)

Ayat ini merupakan ayat ujian yang turun untuk menguji orang-orang yang mengaku mencintai Allah U (termasuk di dalamnya orang yang mengaku dia adalah wali Allah). Jika dia benar mengikuti Nabi r maka kecintaannya kepada Allah U adalah benar, dan jika tidak maka cintanya adalah dusta.

2.      Dia harus bersifat lembut kepada kaum muslimin dan keras kepada kaum kafir, dan berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang-orang yang mencela, sesuai dengan firman Allah U:

يا أيها الذين آمنوا من يرتد منكم عن دينه فسوف يأتي الله بقوم يحبهم ويحبونه, أذلة على المؤمنين  أعزة على الكافرين يجاهدون في سبيل الله ولا يخافون لومة لائم

Wahai orang-orang yang beriman barang siapa dari kalian yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka mencintai Allah yang bersifat lemah lembut kepada orang-orang mukmin, yang bersifat keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah dan tidak takut dengan celaan orang yang mencela.(Al-Maidah : 54)

3.      Dia harus bertaqwa dan beriman, yaitu beriman dengan hatinya dan bertaqwa dengan anggota tubuhnya, sesuai dengan firman Allah U:

ألا أن أولياء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون الذين آمنوا وكانوا يتقون

Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih (hati). (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (Yunus : 62,63)

Maka barangsiapa yang mengaku sebagai wali Allah namun tidak memiliki sifat-sifat ini maka dia adalah pendusta.[5]

Namun perlu diperhatikan bukanlah syarat seorang wali dia harus ma’sum (tidak pernah berbuat salah), dan tidak pula dia harus menguasai seluruh ilmu syari’at. Bahkan boleh baginya tidak mengetahui sebagian syari’at atau masih samar baginya sebagian perkara agama. Oleh karena itu tidak wajib bagi manusia untuk mengimani seluruh apa yang dikatakan oleh seorang wali Allah sehingga dia tidak menjadi seorang Nabi r, tetapi seluruh yang dikatakannya dikembalikan kepada ajaran Muhammad r. Jika sesuai, maka perkataannya diterima dan jika tidak, maka ditolak. Dan jika tidak diketahui apakah sesuai atau tidak dengan ajaran Nabi r maka tawaquf.[6] Dan inilah sikap yang benar kepada wali Allah. Adapun sikap yang salah kepada wali Allah yaitu membenarkan semua apa yang diucapkan dan yang dilakukannya, atau sebaliknya jika melihat dia mengatakan atau melakukan sesuatu yang menyelisihi syari’at maka langsung mengeluarkan dia dari kewaliannya.[7]

Umar bin khottob t adalah contoh seorang wali Allah,  yang Rosulullah r bersabda tentangnya :

قد كان فيما قبلكم من الأمم ناس محدثون فإن يكن من أمتي أحد فإنه عمر

Pada umat-umat sebelum kalian ada orang-orang yang muhaddatsun (yang mendapatkan berita ghoib atau sejenis ilham dari Allah). Kalaupun ada di kalangan umatku satu orang, maka dia adalah Umar.[8]

إن الله ضرب الحق على لسان عمر و قلبه

Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran pada lisan Umar dan pada hatinya.[9]

لو كان نبي بعدي لكان عمر

Kalaulah ada nabi setelahku maka dia adalah Umar.[10]

Hadits-hadits ini jelas menunjukan bahwasanya Umar t adalah seorang wali Allah, bahkan beliau mendapatkan ilham dari Allah. Namun hal ini tidak menunjukan bahwa Umar t harus ma’sum (terjaga dari kesalahan). Kesalahan yang pernah beliau lakukan diantaranya [11]:

a. Yaitu Nabi r berumroh pada tahun ke enam Hijroh bersama sekitar 1400 kaum muslimin –mereka itu yang berbai’at di bawah pohon- dan Nabi r telah mengadakan perjanjian damai dengan kaum musyrikin setelah melalui perundingan dengan kaum musrikin tersebut untuk kembali ke Madinah pada tahun ini dan berumroh pada tahun yang akan datang. Dan Nabi r memberi beberapa syarat terhadap mereka yang dalam syarat-syarat tersebut ada tekanan kepada kaum muslimin secara dzohir, sehingga hal itu memberatkan kebanyakan kaum muslimin, sedangkan Allah dan Rosul-Nya lebih mengetahui dengan maslahat yang ada di balik itu. Dan Umar t termasuk orang yang tidak setuju dengan hal itu, lalu berkata kepada Nabi r :”Wahai Rosulullah, bukankah kita di atas kebenaran dan musuh kita di atas kebatilan ?”, maka Nabi r menjawab :”Benar”, lalu Umar t berkata lagi :”Bukankah orang-orang yang terbunuh diantara kita masuk ke dalam surga dan orang-orang yang terbunuh di antara mereka masuk ke dalam neraka?”, Nabi r menjawab :”Benar”. Umar t berkata :”Kenapa kita merendahkan agama kita?”, Nabi berkata :”Aku adalah Rosulullah dan Allah adalah penolongku dan aku bukanlah orang yang bermaksiat kepadanya.”, Umar t berkata :”Bukankah engkau berkata kepada kami bahwa kita kita akan mendatangi baitulloh dan berthowaf ?”, Nabi berkata :”Benar”. Nabi r berkata lagi:”Apakah aku mengatakan kepadamu sesungguhnya engkau akan mendatanginya pada tahun ini?”, Umar t berkata :”Tidak”, Nabi r berkata :”Sesungguhnya engkau akan mendatanginya dan berthowaf.”

Umar pun mendatangi Abu Bakar t dan berkata kepadanya sebagaimana perkataannya kepada Rosulullah. Dan Abu Bakar t pun menjawab sebagaimana jawaban Rosulullah r, padahal dia tidak mendengar jawaban Rosulullah r. Dan Abu Bakar t adalah orang yang lebih sering sesuai dengan Allah dan Rosul-Nya dari pada Umar t, dan Umar t mengakui kesalahannya dan berkata :”Aku benar-benar akan mengamalkannya”[12]

b. Ketika Nabi r wafat, Umar mengingkari kematian Nabi r. Namun tatkala Abu Bakar t berkata :”Sesungguhnya dia telah wafat”, maka Umar t pun menerimanya.[13]

c. Ketika Abu Bakar t memerangi orang-orang yang enggan membayar zakat, maka Umar t berkata kepada Abu Bakar t :”bagaimana bisa kita memerangi manusia, sedangkan Rosulullah bersabda :”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan aku adalah Rosulullah. Apabila mereka mengakui hal ini maka terjagalah darah-darah dan harta-harta mereka, kecuali dengan haknya””, maka Abu Bakar t berkata :”Bukanlah Rosulullah bersabda “kecuali dengan haknya”?, sesungguhnya zakat termasuk haknya. Demi Allah kalau mereka itu menolak untuk membayar zakat kepadaku yang mereka membayarnya kepada Rosulullah maka aku akan memerangi mereka karena ketidakmauan mereka”. Berkata Umar t :”Demi Allah tidaklah ada, kecuali aku melihat Allah telah melapangkan dada Abu Bakar untuk memerangi (orang-orang yang enggan membayar zakat), maka aku mengetahui bahwasanya dia adalah benar”[14]

Faidah yang bisa diambil dari kisah ini adalah [15]:

a. Seorang wali tidak ma’sum, bisa berbuat salah, bahkan berkali-kali.

b. Seorang wali bisa memiliki karomah sebagaimana Umar yang mendapat ilham dari Allah U.

c. Tidak berarti seseorang yang mendapat karomah berarti lebih mulia daripada wali Allah yang tidak ada karomahnya. Sebagaimana Abu Bakar t jelas lebih mulia daripada Umar t, namun dia tidak mendapatkan ilham dari Allah U.

d. Seorang wali tetap harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah U dan Rosul-Nya dan menjauhi larangan-larangan Allah U dan Rosul-Nya. Sebagaimana Umar t yang tetap melaksanakan perintah Allah U.

e. Walaupun seorang wali, tapi perkataan dan perbuatannya harus ditimbang dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi r yang ma’sum. Sebagaimana ucapan Umar t dikembalikan (ditimbang) oleh Abu Bakar t dengan Sunnah Nabi. Berkata Yunus bin Abdil A’la As-Shodafi : Saya berkata kepada Imam Syafi’i : “Sesungguhnya sahabat kami –yaitu Al-Laits- mengatakan :”Apabila engkau melihat sesorang bisa berjalan di atas (Permukaan) air, maka janganlah engkau anggap dia sebelum engkau teliti keadaan (amalan-amalan) orang tersebut, apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah.”, lalu Imam Syafi’i berkata :”Al-Laits masih kurang, bahkan kalau engkau melihat sesseorang bisa berjalan di atas air atau bisa terbang di udara, maka janganlah engkau anggap ia sebelum engkau memeriksa keadaan (amalan-amalan) orang trsebut apakah sesuai dengan Al-Kitab dan As-Sunnah”.[16]

Sehingga tidaklah benar anggapan bahwa Aresto adalah wali Allah karena Aresto adalah mentrinya Iskandar yang kafir (karena tidak ada wali Allah dari orang kafir), yang sebagian orang (diantaranya Ibnu Sina) menyangka bahwa Iskandar adalah Dzulqornain.[17]

f. Seorang wali yang telah jelas bahwasanya perkataan atau perbuatannya menyelisihi Sunnah Nabi, maka dia harus kembali kepada kebenaran. Dan dia tidak menentangnya. Sebagaimana Umar t, beliau tidak membantah Abu Bakar t dengan berkata :”Tapi saya kan wali, saya kan mendapat ilham dari Allah, saya kan dijamin masuk surga, dan kalian harus menerima perkataan saya”

g. Seorang wali harus mematuhi syari’at Muhammad r. Para Nabi saja kalau hidup sekarang harus mengikuti syari’at Muhammad r apalagi para wali. Karena jelas para Nabi lebih bertaqwa daripada para wali dari selain Nabi. Ibnu Mas’ud t berkata :”Tidaklah Allah mengutus seorang nabipun kecuali Allah mengambil perjanjiannya, jika Muhammad r telah diutus dan nabi tersebut masih hidup maka nabi tersebut harus benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya. Dan Allah memerintah Nabi tersebut untuk mengambil perjanjian kepada umatnya kalau Muhammad r telah diutus dan mereka (umat nabi tersebut masih) hidup maka mereka akan benar-benar beriman kepadanya dan menolongnya.”[18]

h. Seorang wali tidak boleh menyombongkan dirinya dengan mengaku-ngaku bahwa dia adalah wali,  sebagaimana yang dilakukan oleh Ahlul kitab yang mereka mengaku bahwa mereka adalah wali-wali Allah. Sebagaimana firman Allah :

فلا تزكوا أنفسكم هو أعلم بمن اتقى

Dan janganlah kalian menyatakan diri-diri kalian suci. Dia (Allah) yang lebih mengetahui tentang orang yang bertaqwa. (An-Najm : 32 )

Orang mengaku dirinya adalah wali maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah U karena telah melanggar larangan Allah U ini. Dan orang yang bermaksiat tidak pantas disebut wali Allah.[19]

Dan juga bukan termasuk syarat sebagai wali Allah yaitu dia harus memiliki karomah. Namun karomah merupakan tambahan kenikmatan yang Allah berikan kepada siapa saja yang Ia kehendaki dari kalangan para wali-Nya.[20] Dan wali-wali Allah tidak memiliki ciri-ciri yang khusus pada perkara-perkara mubah yang bisa membedakannya dengan manusia yang lain.[21] Pakainnya sama, rambutnya sama, dan yang lainnya juga sama.Contoh-contoh karomah para wali Allah [22]:

1. Amir bin Fahiroh mati syahid, maka mereka mencari jasadnya namun tidak bisa menemukannya. Ternyata ketika dia terbunuh dia diangkat dan hal ini dilihat oleh Amir bin Thufail. Berkata Urwah:”Mereka melihat malaikat mengangkatnya”[23]

2. Kholid bin Walid ketika mengepung musuh di dalam benteng yang kokoh, maka para musuhpun berkata :”Kami tidak akan menyerah sampai engkau meminum racun”, lalu diapun meminum racun namun tidak mengapa.[24]

3. Sa’ad bin Abi Waqqos adalah orang yang selalu dikabulkan do’anya. Dan dengan do’anya itulah dia berhasil mengalahkan pasukan Kisro dan menguasai Iroq.[25]

4. Umar bin Khottob, pernah mengutus pasukan dan beliau mengangkat seorang pemuda yang bernama Sariyah untuk memimpin pasukan tersebut. Dan ketika Umar sedang berkhutbah di atas mimbar, beliau berteriak :”Wahai Sariyah, gunung !, wahai Sariyah, gunung !”. Lalu utusan pasukan tersebut menemui Umar dan berkata : “Wahai Amirul Mu’minin, kami bertemu musuh, tiba-tiba ada suara teriakan :”Wahai Sariyah, gunung!”, lalu kami menyandarkan punggung-punggung kami ke gunung kemudian Allah memenagkan kami”.[26]

5. Abu Muslim Al-Khoulani, dia pernah dicari oleh Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Lalu Al-Aswad bertanya kepada beliau :”Apakah engkau bersaksi bahwa saya adalah Rosul Allah?”, lalu dia berkata :”Saya tidak dengar”, lalu dia bertanya lagi :”Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rosul Allah?”, beliau menjawab :”Ya”. Lalu disiapkan api dan beliau dilemparkan ke api. Namun mereka mendapatinya sedang sholat di dalam kobaran api itu, api itu menjadi dingin dan keselamatan untuknya.[27]

6. Sa’id Ibnul Musayyib, di waktu hari-hari yang panas, beliau mendengar adzan dari kuburan Nabi ketika tiba waktu-waktu sholat, dan mesjid dalam keadaan kosong (karena panasnya hari –pent), tidak ada seorangpun kecuali dia.[28]

7. Uwais Al-Qorni ketika wafat mereka menemukan di bajunya ada beberapa kain kafan yang sebelumnya tidak ada, dan mereka juga menemukan lubang yang digali di padang pasir yang sudah ada lahadnya. Lalu mereka mengafaninya dengan kefan-kafan teresbut dan menguburkannya di lubang tersebut.[29]

8. Asid Bin Hudlair membaca surat Al-Kahfi lalu turunlah bayangan dari langit yang ada semacam lentera dan itu adalah para malaikat yang turun karena bacaannya.[30] Dan malaikat pernah menyalami Imron bin Husain t[31]. Salman t dan Abu Darda’ t makan di piring lalu piring mereka bertasbih atau makanan yang ada pada piring tersebut bertasbih.[32] Ubbad bin Busyr t dan Asid bin Hudlair t kembali dari Rosulullah pada malam yang gelap gulita. Maka Allah menjadikan cahaya bagi mereka berdua, dan tatkala mereka berpisah maka terpisah juga cahaya tersebut.[33]

9. Muthorrif bin Abdillah jika memasuki rumahnya maka tempayan-tempayannya bertasbih bersamanya.[34] Dia bersama seorang sahabatnya berjalan di malam hari, lalu Allah menjadikan cayaha untuk mereka berdua.[35]

10. Ahnaf bin Qois. Ketika dia wafat, tutup kepala milik seseorang terjatuh di kuburannya. Lalu orang tersebut mengambil topinya, dan dia melihat kuburannya telah menjadi seluas mata memandang.[36]

11. Utbah Al-gulam, dia meminta kepada Allah tiga perkara, yaitu suara yang indah, air mata yang banyak, dan makanan yang diperoleh tanpa usaha. Dan jika dia membaca Al-Qur’an maka dia menangis dengan air mata yang banyak. Dan jika dia bernaung di rumahnya dia mendapatkan makanan dan dia tidak tahu dari manakah makanan tersebut.[37]Siapakah wali-wali syaithon ?

Allah U berfirman :

ومن يعش عن ذكر الرحمان نقيض له شيطانا فهو له قرين

Dan barang siapa yang berpaling dari pengajaran Ar-Rohman, kami adakan baginya syaithon yang menyesatkan, maka syaithon itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. (Az-Zukhruf : 36)

هل أنبئكم من تنزل الشيطان, تنزل على كل أفاك أثيم, يلقون السمع وأكثرهم كاذبون

Apakah akan aku beritahukan kepadamu, kepada siapkah syaithon-syaithon itu turun ?, mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithon) itu, dan kebanyakan mereka adalah pendusta. (As-Syu’aro’ : 221,223)Contoh-contoh tipuan syaithon

a.Abdullah bin Soyyad. Nabi r pernah menguji Ibnu Soyyad (seorang dukun yang hidup di zaman Nabi yang dia adalah seorang Yahudi). Nabi r berkata kepadanya :”(Cobalah tebak) aku menyembunyikan sesuatu (di hatiku)”. Ibnu Soyyad berkata :”Ad-Dukh…Ad-Dukh..”.  Padahal sesungguhnya Nabi r sedang menyembunyikan surat Ad-Dukhon. Lalu Nabi berkata kepadanya :”Cih, engkau tidak mampu melampaui kemampuanmu”[38]. Ibnu Soyyad hampir betul menebak apa yang ada di hati Nabi, dan ini adalah suatu keajaiban, namun dengan bantuan syaithon. Karena seorang yang normal maka dia tidak akan bisa mengetahui isi hati manusia, bahkan Nabi pun tidak mengetahui isi hati manusia kecuali yang diberitahu oleh Allah U. Para sahabat pun (kecuali Hudzifah, karena dia telah diberitahu oleh Nabi r) tidak mengetahui siapa-siapa saja orang munafik yang ada bersama mereka. [39]

b.Al-Aswad Al-‘Anasi yang mengaku sebagai nabi. Dia dibantu para syaithon yang memberitahukan kepadanya tentang perkara-perkara ghoib. Dan tatkala kaum muslimin memeranginya mereka kawatir para syaithonnya akan mengabarkan kepadanya apa yang mereka bicarakan tentang dirinya (yaitu bahwasanya dia akan dibunuh –pent). Namun istrinya sadar akan kekafiran suaminya maka diapun menolong kaum muslimin.[40]

c.Musailamah Al-Kadzdzab yang juga mengaku sebagai nabi, memiliki syaithon-syaithon yang memberitahukan perkara-perkara gho’ib kepadanya dan membantunya melakukan hal-hal yang ajaib[41]. Diantaranya dia pernah meludah di sumur sehingga air sumur tersebut menjadi melimpah.[42]

c.Al-Harits Ad-Dimasyqi, seorang pembohong besar yang muncul dan mengaku sebagi nabi di Syam pada zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 86 H). Al-Harits memiliki kemampuan ajaib. Para syaithonnya melepaskan kedua kakinya dari belenggu, dan membuatnya kebal senjata, dan batu pualam bisa bertasbih jika dia sentuh dengan tangannya. Dan dia telah melihat orang-orang dalam keadaaan berjalan dan naik kuda terbang di udara, dia berkata : “Mereka adalah malaikat”, padahal mereka adalah jin. Dan tatkala kaum muslimin menangkapnya untuk dibunuh, maka ada orang yang menombaknya di tubuhnya, namun tidak mempan. Maka Abdul Malik berkata kepadanya :”Engkau tidak menyebut nama Allah”. Lalu orang itu menyebut nama Allah dan berhasil membunuh Al-harits.[43]

d. Lia ‘Aminuddin, yang mengaku sebagai Imam Mahdi dan mengaku telah didatangi oleh Jibril. Keajaiban yang ada padanya yaitu dia mampu untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Bahkan dia mengaku adalah seseorang yang memberantas bid’ah dan kesyririkan.Syubhat-syubhat

Syubhat pertama

Sesungguhnya Rosulullah diutus kepada manusia pada umumnya namun tidak pada manusia-manusia yang khusus yaitu para wali, dan para wali tersebut tidak butuh kepada Nabi, mereka memiliki cara tersendiri untuk mencapai Allah U. Sebagaimana Nabi Musa tidaklah diutus kepada Nabi Khidir sehingga Nabi Khidir tidak wajib mengikuti syari’at Musa.[44]

Jawab [45]:

Perkataan ini sebagaimana perkataan kebanyakan para ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) bahwasanya Rosulullah diutus kepada orang-orang yang tuna aksara bukan kepada mereka. Dan pendalilan dengan kisah antara Khidir dan Musa adalah tidak tepat, sebab :

a. Bahwasanya Musa tidaklah diutus kepada Khidir (tetapi hanya diutus untuk bani Isroil), sehingga Khidir tidaklah wajib mengikuti Nabi. Adapun Muhammad r risalahnya umum untuk seluruh jin dan manusia. Bahkan jika ada orang yang lebih mulia dari Khidir (seperti Ibrohim, Musa, dan Isa)[46] bertemu dengan Nabi, maka dia wajib mengikuti Nabi. Apalagi Khidir, tentu lebih wajib lagi.

Oleh karena itu Khidir berkata kepada Musa : “Aku diatas ilmu yang diajarkan Allah kepadaku yang tidak kau ketahui dan engkau di atas ilmu yang Allah mengajari engkau yang aku tidak mengetahuinya”[47]. Dan tidak boleh bagi seorangpun yang sampai kepadanya risalah Muhammad r untuk berkata sebagaimana perkataan Khidir ini.

b. Apa yang telah dilakukan oleh Khidir[48] tidaklah menyelisihi syari’at Musa. Musa tidaklah mengetahui sebab yang membolehkan hal-hal itu. Dan ketika Khidir menjelaskan sebab-sebab tersebut Musa menyetujuinya. Sehingga berkata Ibnu Abbas kepada Najdah Al-Harwari ketika dia bertanya kepada Ibnu Abbas t tentang membunuh anak-anak kecil: “Jika kamu mengetahui anak-anak tersebut sebagaimana yang diketahui oleh Khidir tentang anak kecil (yang dibunuhnya) maka bunuhlah mereka, dan jika tidak maka jangan.”[49]

Syubhat kedua

Mereka (para wali syaithon) menganggap bahwa mereka mendapat wahyu langsung dari Allah    -sebagaimana yang diserukan oleh Ibnu Arobi-, dan bahwasanya mereka lebih baik dari para nabi yang mengambil ilmu dari Allah melalui perantara. Mereka berkata :”Kenabian telah berakhir dengan wafatnya Rosulullah r, sedangkan kewalian belum berakhir. Dan yang paling terakhir adalah yang lebih baik dari yang sebelumnya”.

Jawab :

Ini adalah pemikiran sesat Ibnu Arobi yang sama sekali tidak bersandar kepada dalil. Ketika dia mengetahui bahwa syari’at ini sudah tidak bisa dirubah lagi hingga hari kiamat, (dan dia ingin keluar dari syari’at) maka dia berkata :”Kenabian telah tertutup, tetapi kewalian belum”, dan dia menganggap bahwa kewalian lebih tinggi derajatnya dari pada kerosulan dan kenabian, sebagaimana dia berkata :

مقام النبوة في برزخ      فويق الرسول و دون الولي

Kedudukan kenabian berada di alam barzakh, sedikit di atas (kedudukan) Rosul dan dibawah (kedudukan) Wali

Hal ini tentunya pemutarbalikan syari’at. Seharusnya kenabian lebih khusus dari kewalian dan kerosulan lebih khusus daripada kenabian. Sehingga kedudukannya adalah kerosulan lebih tingi daripada kenabian dan kenabian lebih tinggi daripada kewalian.[50] Berkata Imam Abul ‘Izz Al-Hanafi :”Maka siapakah yang lebih kafir dari memisalkan dirinya dengan sebuah bata emas dan memisalkan Nabi dengan bata perak, lalu dia menjadikan dirinya lebih tinggi daripada Nabi,…….bagaimana bisa samar kekufuran dari perkataannya (Ibnu Arobi) ini ?…..dan kekufuran Ibnu “Arobi lebih parah dari kekufuran orang-orang yang berkata : “Tidaklah kami beriman hingga kami diberikan apa yang diberikan kepada Rosulullah” (Al-An’am : 124)”[51]

Syubhat ketiga

Kami tidak usah menjalankan syari’at karena Allah U telah bersatu dengan kami para hambanya yang sholih. Bukankah Allah U berkata dalam hadits qudsi :

و ما يزال عبدي يتقرب ألي بالنوافل حتى أحبه, فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به و بصره الذي يبصر يه ويده التي يبشط بها ورجله التي يمشي بها, ولئن سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه

Dam hamba-Ku senantiasa bertaqorrub (mendekatkan dirinya) kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, dan penglihatannya yang dia melihat dengannya, dan tangannya yang dia memukul dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya, dan jika dia meminta kepada-Ku maka akan aku berikan, dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku maka aku akan melindunginya.[52]

Jawab : Dzohir hadits ini adalah bukanlah Allah U menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya,  dan kakinya, tetapi dzohirnya adalah Allah U meluruskan (memberi petunjuk) kepada penglihatan, pendengaran, tangan dan kakinya, sehingga apa yang dilakukan oleh hamba tersebut selalu dibimbing oleh Allah U. Adapun makna yang batil di atas adalah tidaklah mungkin, sebab :

- Ini merupakan aqidah wihdatul wujud (manunggaling kawulo gusti) yang sesat karena bertentangan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang muhkam (jelas) yang tidak bisa lagi dipalingkan lagi maknanya.

- Barang siapa yang memperhatikan hadits ini dengan baik maka dia akan faham tentang batilnya aqidah wihdatul wujud ini. Dalam hadits ini Allah U menetapkan adanya hamba (yang beribadah) dan ma’bud (yang diibadahi), yang mendekat (bertaqorrub) dan yang didekati (ditaqorrubi), yang dicintai dan yang mencintai, yang meminta dan yang memberi, yang meminta perlindungan dan yang memberi perlindungan. Maka hadits ini menunjukan adanya dua dzat yang berbeda, yang satu bukan yang lainnya. Dan bukan pula yang satu merupakan sifat atau bagian dari yang lainnya.

- Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki si wali semuanya adalah sifat-sifat atau bagian-bagian pada makhluk yang baru tercipta yang sebelumnya belum ada (belum tercipta). Maka tidak mungkin bagi siapa saja yang berakal untuk memahami bahwa pencipta yang awal (yaitu Allah) yang tidak ada sebelum Dia sesuatupun, akan menjadi pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki makhluk. Bahkan hal seperti inipun sulit untuk dibayangkan kalaupun kita anggap benar.[53]Perbedaan antara karomah wali Allah dan tipuan wali syaithon

1. Bahwa karomah para wali tersebut disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan. Sedangkan keajaiban dan keluarbiasaan lain yang merupakan bantuan syaithon disebabkan oleh hal-hal yang merupakan larangan Allah U dan Rosulullah[54]. Jadi apabila di dalamnya mengandung unsur-unsur yang disenangi oleh syaithon, baik itu kemusyrikan, kedzoliman, atau kebid’ahan, maka jelas yang terjadi pasti bukan karomah.

2. Karomah tidak bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan apa saja dan tidak bisa dilawan. Sedangkan kejadian-kejadian luar biasa lain yang merupakan bantuan syaithon bisa dibatalkan dengan bacaan-bacaan ayat-ayat Allah seperti ayat kursi dan lain-lain

3. Karomah tidak bisa dipelajari sehingga menjadi suatu ilmu kedigdayaan yang baku. Sedangkan kejadian-kejadian luar bisa yang berasal dari syaithon bisa dipelajari.[55] Sebagaimana karomah-karomah yang telah dimiliki oleh para salaf, tidak ada satu atsarpun yang menunjukan bahwa mereka pernah mengajarkan karomah mereka kepada orang lain. Sebagaimana Umar t, beliau tidak pernah mengajarkan karomahnya kepada orang lain, kerena memang tidak bisa diajarkan.

4. Karomah pada umumnya tidak bisa dilakukan terus menerus, tetapi terjadi sesuai kehendak Allah bukan berdasarkan kehendak Wali yang mendapatkan karomah tersebut.Pengetahuan tambahan :

1. Seluruh orang yang beriman adalah wali-wali Allah. Dan wali-wali yang paling mulia adalah para Nabi. Dan para Nabi yang paling mulia adalah para Rosul. Dan para Rosul yang paling mulia adalah para Rosul yang lima (Ulul ‘Azmi), dan diantara Ulul ‘Azmi yang paling mulia adalah Nabi Muhammad.[56]

2. Persamaan dan perbedaan antara Mu’jizat dan karomah.

Persamaannya : Mu’jizat dan karomah sama-sama merupakan hal yang ajaib yang luar biasa (yang tidak bisa dilkukan olah orang biasa) yang Allah berikan kepada para hambanya.

Perbedaannya [57]:

- Mu’jizat hanya berlaku pada para Nabi dan Rosul, adapun karomah pada para wali.

- Mu’jizat diperoleh dengan kenabian, adapun karomah diperoleh dengan ketaqwaan.

- Karomah kedudukannya lebih rendah daripada mu’jizat.

- Akibat dari mu’jizat adalah baik, adapun efek samping dari karomah belum tentu.[58]

- Pemilik mu’jizat (yaitu para Nabi dan Rosul) menantang orang-orang yang menyelisihinya, adapun pemilik karomah tidak demikian.

3. Kita harus mengakui adanya karomah, tidak sebagaimana mu’tazilah yang mengingkari karomah dan berkata :”Kalau kita mengakui karomah, maka akan sama wali dengan Nabi”, oleh karena itu kami mengingkari karomah dan juga mengingkari hakikat sihir. Namun ini tidaklah benar sebab orang yang memiliki karomah tidaklah mengaku bahwa dia adalah seorang Nabi.[59]

4. Dalam beribadah hendaknya kita berniat karena Allah bukan karena untuk mencari karomah. Kita meminta kepada Allah agar bisa istiqomah dalam hidup kita bukan mencari karomah. Berkata Abu Ali Al-Jauzaja’i : “Jadilah engkau orang yang mencari keistiqomahan, jangan menjadi pencari karomah. Sesungguhnya jiwamu bergerak (berusaha) dalam mencari karomah padahal Rob engkau mencari keistiqomahanmu”. Berkata Syaikh As-Sahrwardi :”Ucapan ini adalah prinsip yang agung dalam perkara ini, karena sesungguhnya banyak mujtahid dan ahli ibadah mendengar salaf yang sholih, telah diberi karomat-karomat dan hal-hal yang luar biasa sehingga jiwa-jiwa mereka (para ahli ibadah itu) senantiasa mencari sesuatu dari hal itu (karomah tersebut), dan mereka ingin diberikan sedikit dari hal itu, dan mungkin diantara mereka ada yang hatinya prustasi dalam keadaan menuduh dirinya bahwa amal ibadahnya tidak sah karena tidak mendapatkan karomah. Kalau mereka mengetahui rahasia hal itu (yaitu Allah tidak menuntut para hambanya untuk memperoleh karomah, tetapi yang Allah inginkan para hambanya beristiqomah –pent) tentu perkara ini (mencari karomah) adalah perkara yang rendah bagi mereka. [60]

5. Hukum tenaga dalam, jika diatasnamakan Islam (biasanya dicampur dengan dzikir-dzikir asma Allah) maka harom. Kalau mereka menyatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk beribadah kepada Allah, maka kita katakan bahwa ini adalah bid’ah sebab kenapa harus menggunakan tata cara dan gerakan-gerakan khusus yang tidak pernah diajarkan oleh Allah dan Nabi. Dan tidak ada dalil sama sekali bahwa dengan bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan khusus yang mereka lakukan bisa mengahasilkan tenaga dalam. Kalau mereka mengatakan tujuan mereka untuk beribadah dan untuk mempeoleh kekuatan, maka kita katakan bahwa mereka telah melakukan kesyirikan sebab niat ibadah mereka selain untuk Allah juga untuk hal yang lain.[61]

Selain itu perkatek-praktek tenaga dalam yang ada menyelisihi syari’at diantaranya :

- Latihannya harus menggunakan emosi, padahal Rosulullah r telah melarang seseorang untuk emosi, beliau bersabda :

لا تغضب فردد مرارا  لا تغضب

“Janganlah engkau marah”, Rosulullah mengulanginya beberapa kali “Janganlah engkau marah”

Rahasia mereka (yang latihan tenaga dalam) harus marah sebab dengan marah tersebut syaithon bisa masuk dalam tubuh mereka sehingga bisa memberi kekuatan untuk tenaga dalam mereka. Sebagaimana sabda Rosulullah :

إن الشيطان يجري من بني آدم مجرى الدم

Sesungguhnya syaithon mengalir dalam tubuh manusia sebagaimana aliran darah. (Riwayat Bukhori)

- Ketika latihan, mereka sering tidak sadar, terutama ketika sedang memprkatekkan jurus mereka. Hal ini sama saja dengan sengaja membuat diri menjadi tidak sadar (alias mabuk), dan hal ini tidak boleh dalam Islam, sebab Islam menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga akal kita sehingga bisa senantiasa berdzikir kepada Allah.

- Kadang disertai dengan puasa mutih (tidak boleh makan kecuali yang putih-putih), yang ini tidak ada syari’atnya dalam Islam. Atau untuk menjaga ilmunya dia harus menghindari pantangan-pantangan tertentu yang sebenarnya hal itu dihalalkan baginya sebelum dia memiliki ilmu tenaga dalam tersebut. Dan ini berarti mengha“Janganlah engkau mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah U.



والله أعلم بالصواب

Tidak ada komentar:

Posting Komentar