Jumat, 17 Februari 2012

SUFI GAUL




Di sebuah perusahaan farmasi, seorang brand manager bernama Helmi rajin mengajak teman-temannya berdiskusi tentang agama. Buku-buku dan print-out hasil browsingtentang masalah tauhid menumpuk di meja kerjanya. Sehingga tidak jelas lagi, sebenarnya ia tengah bekerja atau memanfaatkan ruang kerja untuk mengaji?
Padahal, ia tidak sedang diparkir atau masuk kotak. Kesibukannya juga sangat banyak. Maklum, ia merupakan manejer untuk memasarkan produk-produk farmasi ethical dan OTC. Ethical merupakan jenis obat yang diresepkan, sedangkan OTC merupakan jenis obat yang dijual bebas. Tapi, ia tetap saja meluangkan banyak waktu dan memfaatkan kesempatan sebisa-bisanya, untuk melengkapai wawasan agama. Dan, sedapat mungkin berwasiat juga tentang kebenaran dan kesabaran kepada karyawan lain.

“Sampeyan itu sudah seperti sufi,” kata saya suatu ketika.

Ia tersenyum saraya mengernyitkan dahinya. “Kalau menurut sampeyan, sufi itu apa?”
Sejenak saya tertegun. Satu sisi saya merasa bersalah lantaran tiba-tiba memberikan predikat baru buatnya – meski positif. Di sisi lain, saya jadi merasa diuji, kok bisa-bisanya memberikan julukan itu buatnya. Jangan-jangan ada perbedaan pemahaman di antara kami soal sufisme. Namun, karena terlanjur membuka masalah maka saya harus bertanggung jawab untuk menuntaskannya. Ya, memulainya dengan mengumbar definisi atau pemahaman tentang masalah itu.
“Sufi itu sendiri sekedar istilah untuk menggambarkan perjalanan seseorang dalam menyucikan akhlak dan tingkatan spiritualnya. Mengamalkan secara istiqomah ajaran tasawuf atau ajaran penyucian akhlak. Yakni, dengan menjalankan prilaku dan sikap terpuji, tidak menyakiti orang, dan senang berbuat kebajikan.
Dari segi ibadah, orang semacam itu melakukan seluruh amaliyah di atas rata-rata. Melaksanakan shalat fardhu dan shalat sunnah secara kontinyu dan tepat waktu. Shalat sunnah pun dianggap seperti shalat fardhu. Termasuk juga zikir-zikirnya. Meningkatnya amaliah nawafil atau tambahan, maksudnya,” saya mulai berteori bak Jalaluddin Rakhmat. Ah, biar. Siapa tahu Helmi bisa melengkapinya dan memberikan tambahan gizi buat otak saya.
Saya harus menempatkan Helmi ke predikat seperti itu, sejujurnya, dalam konteks membandingkannya dengan kaum muslim kebanyakan, yang lebih asyik berdiskusi dan berdebat ketimbang mengamalkan pemahamannya. Banyak orang yang merasa pintar tasawuf, berdiskusi di sana-sini, dan bergaya seperti sufi. Padahal, maaf, cuma akting. Ya, pseudosufisme, atau sufi-sufian. Di saat bersamaan, kita juga digempur informasi yang jelas tentang berbagai masalah spiritual dari berbagai media. Kalau tidak pintar membedah dan memilah, kita justru tengah dijerumuskan ke lembah kebingungan. Karena, betapa banyak media massa yang berani mengumbar topik-topik spiritual tanpa didukung orang-orang yang mumpuni. Dalam pengertian, mereka hanyalah orang-orang yang memiliki sedikit data, tapi tidak pernah terlibat secara penuh dengan ajaran tasawuf.
Adakah korelasinya seseorang yang tengah ditugaskan menginformasikan suatu masalah dengan keterlibatannya dalam masalah itu secara total? Banget! Betapa banyak sebuah topik diulas dan disebarkan secara luas, tapi terasa hambar dinikmati. Penyebabnya, karena penggarapnya hanya mengenal kulit alias permukaan. Akhirnya, kesalahan demi kesalahan yang terus berhamburan ke hadapan kita. Termasuk, hal-hal yang berkaitan dengan spiritual.
“Apa pendapat sampeyan tentang kelompok tarekat?” tanya Helmi kemudian. Ia sepertinya terpuaskan dengan jawaban singkat saya tentang sufisme, sehingga mencoba masuk ke topik yang lebih dalam.
“Pada kenyataannya, praktik para sufi memang identik dengan peleburan diri dalam kelompok tarekat tertentu. Karena sang salik (penempuh jalan kesucian) memang membutuhkan arah atas kendaraan yang ditumpanginya. Jika ibaratnya agama atau ajaran syariat merupakan kendaraan, maka tarekat merupakan jalan yang harus dilewati untuk mencapai tujuannya. Yakni, berdekatan secara intim dengan Yang Mahapencipta. Konsekwensi dari keterlibatannya itu, maka mereka pun dituntut untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah seperti yang diterapkan dalam kelompok tarekat yang diikutinya.
Bila di hari-hari kemarin, mereka harus patuh dan taat untuk menjalankan shalat fardhu dan shalat sunnah, maka setelah masuk kelompok tarekat, mereka akan diperkenalkan dengan shalat yang dilakukan secara terus menerus atau shalat daim. Sepanjang waktu. Selagi mata kita terbuka. Sebuah kelompok tarekat terkemuka di tanah air kita menyebutbnya zikir khofi. Zikir dalam hati. Maknanya, merupakan upaya untuk terus mengingat adaNya dan kuasaNya. Atau, eling dalam filosofi Jawa.
Orang-orang yang tergabung dalam kelompok tarekat sama artinya dengan menceburkan diri dalam penyucian hati secara total. Mereka juga akan terus meniti perjalanan ibadahnya secara maksimal. Sehingga, mereka bisa mencapai tujuan sebagai manusia yang sempurna. Insan kamil. Dengan shalat daim sama artinya dengan shalat sepanjang waktu. Sepanjang detik hanya menyebut namaNya. Penyerahan diri secara kaffah. Total. Dengan begitu, mereka pun harus benar-benar menjaga prilaku dan sikapnya, karena mereka merasa terus diawasi oleh Yang Mahamengawasi.
Dengan kata lain, mereka mencoba untuk berma’rifat. Mereka itulah yang mencoba merasakan atmosfir shalatnya orang mu’min adalah ma’rifat. Dari segi syariat, ada ulama yang berpendapat, dengan seseorang merasa sebagai sufi, maka pelaksanaan ibadah syariatnya jadi lebih hebat. Secara kualitas maupun kuantitas. Ilmu Tasawuf bukanlah sekedar ilmu pengetahuan. Ilmu Tasawuf bukan sekedar pelajaran tauhid. Ilmu Tasawuf juga bukan hanya teori soal proses penyucian akhlak dan totalitas ibadah. Tapi, di dalamnya memang terdapat proses panjang, untuk menapaki maqom-maqom spiritual. Stasiun-stasiun pencapaian spiritual.
Ada ulama yang berpendapat, tasawuf dibagi dua; yang amaliah dan filsafat. Tasawuf Amaliah menekankan pada totalitas penyucian akhlak serta kualitas dan kuantitas ibadah. Ya, dengan menjalankan amaliyah nawafil seperti yang diperlihatkan oleh Baginda Rasulallah Muhammad saw. Kelompok ini menyandarkan pada pemurnian ajaran Al-Qur’an dan hadits, dan tidak membaurkan dengan pengaruh lokal atau budaya setempat.
Sebaliknya dengan Tasawuf Filsafat, yang lebih menekankan pada totalitas penyucian akhlak, tapi tidak mengharuskan pengikutnya menjalankan praktik syariat. Bukan berarti mereka tidak melaksanakan shalat. Karena, sesungguhnya mereka menjalankan apa yang disebut shalat daim, tanpa berhenti sedikit pun. Sedangkan shalat fardhu atau shalat sunnah tidak perlu dilakukan lagi,” saya makin bersemangat bercerita. Helmi menyimaknya penuh perhatian. Tiba-tiba, saya jadi merasa dibutuhkan. Sehingga, saya pun jadi makin bernafsu untuk mengumbar pemahaman saya tentang masalah ini.
Helmi dengan kesibukan berburu pengetahuan agama (di sela-sela kesibukannya di kantor), bisa jadi, tak berbeda jauh dengan saudara-saudara kita, yang telah tercerahkan dan makin haus dengan wawasan ketauhidan dan ma’rifat. Perbedaan mencoloknya, Helmi tengah berada di posisi yang sangat baik dan dimuliakan. Tapi, ia justru tetap istiqomah menjadi insan yang tercerahkan, dan terus bertekad menyempurnakan penitian maqom-maqom spiritualnya.
Jauh sebelum Helmi mendapat kemuliaan dan surga yang didapatnya sekarang, ia pun pernah digempur persoalan-persoalan di lingkungannya. Kerja keras yang lebih dari 15 tahun, untaian prestasi yang ditorehkannya bertahun-tahun, sempat mengantarkannya ke “pos pembuangan”. Meski begitu, ia menjalaninya dengan kesabaran nan tiada tara, seraya mensyukuri apa-apa yang didapatnya. Berpasrah diri atas apa-apa yang didapat. Bahkan, dalam keterasingan dan ketiadaberdayaannya itu, ia justru menghasilkan ide-ide brilian. Pada akhirnya, hal itu pun menjelamakan kemuliaan.
Melengkapi perjalanan bersabar dan bersyukur yang telah dirintisnya, ia pun makin istiqomah bertawakal. Segala prilaku dan sikapnya merupakan cerminan akhlak yang senantiasa berpasrah atas segala keputusanNya. Bahkan, dengan posisinya yang telah mapan, ia pun berupaya terus menghijaukan sekelilingnya dengan iman dan tauhid. Serta mengembangkan dengan sepenuh hati amanah sabda Baginda Rasulallah saw, untuk terus berwasiat tentang kebenaran dan kesabaran.
Dengan tangan kecilnya, Helmi berharap terjadi perubahan pula di lingkungan kerjanya. Sehingga, lingkungan kerja itu bakal menjadi lebih sejuk dan menetramkan. Ia bukan hanya menikmati kenyamanan Islam sebagai kendaraan untuk menapaki jalan lurus. Tapi, ia justru makin melarutkan diri dengan kedalaman ajaran Islam itu sendiri, untuk menjangkau surga yang sebenar-benarnya. Surga di dunia dan akhirat.
Karena itu saya berani memastikan, ia adalah sufi dengan jubah modernitasnya. Ia tidak memancang janggut panjang, memasang sorban sebagai penutup kepala, dan pakaian-pakaian gamis. Tapi, kesufian ditunjukkannya dengan akhlak yang mulia. Perilaku dan sikap nan senantiasa menyejukkan sekelilingnya dan, semoga juga, menyejukkan pandangan Yang Mahamelihat.


http//arifin-demak.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar